TUGAS PAPER PENYAKIT UNGGAS
MANAJEMEN PAKAN PADA AYAM BROILER
Oleh:
SARUEDI
SIMAMORA
NIM:
1209005068
DENPASAR
2014
KATA
PENGANTAR
Puji dan Syukur ke hadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan paper ini tepat pada waktunya.
Paper ini bertujuan membantu mahasiswa dan
masyarakat pada umumnya untuk lebih mendalami dan mengetahui tentang pentingnya
mempelajari Manajemen Pemberian Pakan pada Peternakan Ayam Broiler.
Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu dalam
penyelesaian paper ini. Ibaratkan tidak ada gading yang tidak retak, sama
halnya juga dengan paper ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kami
selaku penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan paper ini.
Denpasar, Juni 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
DAFTAR
TABEL
Tabel 2.1. Standar
Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707 ........................ 3
Tabel 2.2. Frekuensi Pemberian Pakan ............................................................... 8
Tabel 2.3. Jumlah kebutuhan tempat pakan
untuk 500 ekor .............................. 11
Tabel 2.4. Konsumsi air minum broiler modern
................................................. 12
Tabel 2.5. Kriteria
Indeks Performa Ayam Pedaging ....................................... 15
Tabel 3.1. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial .............................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Usaha peternakan ayam broiler merupakan salah satu usaha yang
potensial untuk menghasilkan daging dan meningkatkan konsumsi protein bagi
masyarakat. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha ayam broiler adalah
pakan (feed), pembibitan (breeding), dan tatalaksana (manajemen). Penghematan
biaya pakan merupakan tujuan yang harus dicapai dalam mendapat keuntungan yang
maksimal dari hasil produksinya. Frekuensi pemberian pakan yang berbeda akan
memberikan hasil performa yang berbeda. Ayam broiler
tumbuh dengan cepat
dan dapat dipanen
dalam waktu yang
singkat. Keunggulan genetik yang
dimiliki ayam broiler
dan pemberian pakan
yang baik mampu menampilkan
performa produksi yang
maksimal. Selain faktor
genetik dan pakan,
lingkungan kandang mempunyai
peran yang besar
dalam menentukan performa
broiler dan keuntungan yang diperoleh peternak.
Ayam
broiler adalah ayam muda yang biasanya dipanen pada umur sekitar 5-6 minggu
dengan tujuan sebagai penghasil daging. Sehubungan dengan waktu panen yang relatif
singkat, maka jenis
ayam broiler ini
harus tumbuh cepat,
dada lebar disertai timbunan
daging. Hal tersebut
dapat dicapai dengan
manajemen pemeliharaan yang baik dan didukung kualitas ransum yang
tinggi.
Faktor yang
mempengaruhi keberhasilan usaha
ayam broiler adalah
pakan (feed), pembibitan (breeding),
dan tatalaksana (manajemen). Pakan
merupakan bagian terpenting dalam suatu usaha peternakan khususnya
peternakan ayam broiler. Pakan
merupakan unsur penting
untuk menunjang kesehatan,
pertumbuhan dan suplai energi
sehingga proses metabolisme dapat berjalan dengan baik serta tumbuh dan berkembang
dengan baik. Biaya pakan
dapat mencapai 70% - 80%
dari total biaya produksi sehingga
pakan yang diberikan harus efisien.
Sebagian
besar peternak ayam
broiler memberi pakan
secara adlibitum dan diberikan tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan soe hari. Suhu lingkungan
pada pagi dan sore
hari mendekati suhu
nyaman atau themoneutral zone untuk
pertumbuhan ayam sehingga pemberian pakan pada waktu tersebut dapat dimetabolisasi
dengan optimal dan akam menghasilkan performa yang optimal. Pemberian
pakan pada siang
hari dengan rata-rata
suhu lingkungan di
daerah tropis yang berada diatas
suhu nyaman, akan berdampak pada
penurunan konsumsi pakan dan proses metabolisme
yang kurang optimum
sehingga menghasilkan performa yang buruk.
1.2
Rumusan
Masalah
2. Bagaimana
sistem pemberian pakan pada broiler?
3.
Apa yang dimaksud dengan pemberian
pakan lebih awal pada broiler?
4.
Bagaimana pemberian pakan fase starter dan finisher pada broiler?
5.
Bagaimana frekuensi pemberian pakan pada broiler?
6.
Bagaimana konsumsi pakan pada broiler?
7.
Bagaimana manajemen tempat pakan pada broiler?
8.
Bagaimana manajemen tempat minum dan air minum ayam broiler?
9.
Bagaimana proses pertambahan bobot badan broiler?
10.
Apa yang dimaksus dengan konversi pakan pada broiler?
11.
Bagaimana angka mortalitas pada broiler?
12. Bagaimana cara menghitung indeks performa ayam
broiler?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui manajemen
pemberian pakan pada ayam broiler secara lebih baik, efisien, dan menguntungkan
bagi peternak.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pengertian
Ayam broiler adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebutkan ayam hasil budidaya teknologi peternakan dengan
menyilangkan sesama jenisnya. Karekteristik
ekonomi dari ayam broiler adalah pertumbuhan cepat serta penghasil daging dengan konversi pakan
efisien. Bobot badan ayam broiler ini tergolong tinggi.
Ayam broiler merupakan tipe ayam pedaging dan umumnya
digunakan untuk konsumsi
sehari-hari sebagai pemenuhi
kebutuhan protein hewani.
Berdasarkan aspek pemuliaannya terdapat tiga jenis ayam penghasil
daging, yaitu ayam Kampung, ayam
petelur afkir dan ayam broiler. Ayam broiler umumnya dipanen pada umur sekitar 4-5 minggu dengan
bobot badan antara 1,2-1,9 kg/ekor yang
bertujuan sebagai sumber pedaging (Kartasudjana, 2005)
dan ayam tersebut
masih muda dan dagingnya
lunak (North dan
Bell, 1990). Ayam broiler
mempunyai beberapa
keunggulan seperti daging
relatif lebih besar,
harga terjangkau, dapat dikonsumsi segala
lapisan masyarakat, dan
cukup tersedia di
pasaran (Sasongko, 2006). Standar
Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707 disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Standar Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707
Minggu
|
Bobot Badan (g/e)
|
Pertambahan Bobot
Badan (g/e)
|
Konsumsi Pakan
|
FCR
|
|
Per hari (g/e/h)
|
Kumulatif (g/e)
|
||||
1
|
175,00
|
19,10
|
-
|
150,00
|
0,857
|
2
|
486,00
|
44,40
|
69,90
|
512,00
|
1,052
|
3
|
932,00
|
63,70
|
11,08
|
1167,00
|
1,252
|
4
|
1467,00
|
76,40
|
15,08
|
2105,00
|
1,435
|
5
|
2049,00
|
83,10
|
17,90
|
3283,00
|
1,602
|
6
|
2643,00
|
83,60
|
19,47
|
4604,00
|
1,748
|
Sumber : PT
Charoen Pokphand (2006)
2.2
Sistem Pemberian Pakan
Saat ini sistem pemberian pakan pada broiler modern yang baru menetas
berbeda dengan sistem pemberian pakan pada ayam broiler klasik. Hal ini terjadi
karena hasil penelitian para ahli dibidang peternakan. Sebelum tahun dua
ribuan, peternak dianjurkan untuk melakukan puasa makan terhadap DOC yang baru
menetas selama 48 jam dengan tujuan protein yang mengandung maternal antibodi
dapat diserap sempurna. Namun hasil penelitian berikutnya menganjurkan hal
sebaliknya yaitu memberikan pakan pada DOC baru menetas sesegera mungkin.
Sedangkan pemberian pakan pada umur finisher tidak mengalami perubahan (Ardana, 2009).
2.3
Pemberian
Pakan Lebih Awal
Pemberian pakan lebih awal dapat mempercepat penyerapan kuning telur,
pertambahan berat badan, meningkatkan presentase daging dada, dan efek
pemberian pakan lebih awal juga berpengaruh terhadap saluran pencernaan (Ardana, 2009).
Program komersial broiler telah menekankan seleksi yang ketat untuk mencapai
pertumbuhan secara genetik yang cepat per unit waktu pada umur semuda mungkin.
Berat awal DOC broiler sekitar 45-50 gram, menunjukkan peningkatan mencapai
40-45 kali pada umur 40 hari. Pertumbuhan yang begitu spektakuler ini
menyebabkan setiap hari begitu berharga untuk memonitor potensi genetik yang
penuh dari ayam tersebut. Sesaat setelah anak ayam menetas hingga mendapatkan
nutrisi pertama kali merupakan periode kritis dalam membentuk pertumbuhan yang
baik bagi broiler. Beberapa laporan menunjukkan bahwa sisa kuning telur
digunakan untuk kelangsungan hidup sebagai energi eksogenous yang berguna untuk
pertumbuhan. Pertumbuhan awal pada anak ayam dapat ditingkatkan dengan
pemberian nutrisi lebih awal. Pemberian pakan lebih awal dapat memberikan efek
yang baik terhadap pertumbuhan broiler yang baru menetas. Pemberian pakan lebih
awalini dapat mempercepat penyerapan kuning telur, meningkatkan berat badan,
dan mempercepat perkembangan saluran pencernaan pada DOC broiler. Untuk
mendapatkan nutrisi lebih awal, 24 jam setelah proses pencernaan berfungsi atau
24 jam setelah menetas penundaan terhadap asupan nutrisi dapat memperlambat
perkembangan saluran pencernaan dan sistem kekebalan, sehingga pertambahan
berat badan awal dan daging dada yang dihasilkan rendah (Ardana, 2009).
Pada perkembangan embrio kuning telur merupakan sumber energi. Selama
penetasan, kuning telur terdiri dari 20% flase berat badan anak ayam dan
mengandung 20-40% lemak serta 20-25% protein. Menjelang berakhirnya masa
inkubasi sisa kuning telur terkumpul didalam rongga abdominal. Bagi anak ayam
yang baru menetas kuning telur tersedia sebagai energi, sedangkan protein untuk
kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Sisa kuning telur cukup untuk kelangsungan
hidup anak ayam hingga umur 3-4 hari tanpa diberikan pakan, tetapi tidak dapat
mendukung perkembangan saluran pencernaan dan sistem kekebalan, ataupun
pertumbuhan berat badan. Selanjutnya kebanyakan protein berisi berbagai
biomolekuler berharga seperti maternal antibodi yang digunakan untuk kekebalan
pasif yang berguna daripada sebagai sumber asam amino. Pecahan lipid dari
kuning telur sebagian besar berisi trigliserida, phospolipid dan sejumlah kecil
ester kholesterol serta asam lemak tidak bebas. Pada saat penetasan anak ayam,
kuning telur dimanfaatkan baik oleh endositosis dari kandungan kuning telur ke
dalam usus halus. Pergerakan antiperistaltik mentransfer kuning telur ke usus
halus dimana acyl-lipid dicerna oleh enzim lipase dari pankreas dan diserapnya (Ardana, 2009).
Pemberian pakan yang lebih awal dapat mempercepat penyerapan kuning
telur. Sisa kuning telur pada umumnya akan habis hingga 4 hari setelah menetas.
Studi terbaru mengindikasikan bahwa sisa kuning telur digunakan lebih cepat
oleh anak ayam yang sudah mendapatkan pakan lebih awal dibandingkan pada anak
ayam yang dipuasakan hingga 48 jam. Berat sisa kuning telur pada anak ayam
broiler saat menetas adalah 6,5 gram yang berkurang menjadi 0,4 gram dalam
waktu 96 jam pada anak ayam yang diberi pakan segera setelah menetas, tetapi
berat kuning telur yang tersisa pada anak ayam yang dipuasakan 24 jam dan 48
jam adalah 0,7 gram dan 1,5 gram setelah 96 jam. Hal ini disebabkan karena
gerakan antiperistaltik yang mentransfer kuning telur hingga ke duodenum karena
dirangsang dengan kehadiran makanan di dalam saluran usus. Tetapi pada proses
penetasan anak ayam diperunggasan komersial, anak ayam akan ditransfer dari
inkubator ketika sebagian besar telah terlepas dari kerabang telur. Diikuti
dengan proses selanjutnya seperti sexing, vaksinasi, dan pengemasan yang
dilakukan sebelum dimasukkan ke dalam box untuk dikirim. Jadi dalam
kenyataannya, anak ayam seringkali tidak mendapatkan air minum dan pakan yang menyebabkan kelangsungan
hidup dan pertumbuhan terlambat. Oleh karena segera setelah penetasan merupakan
periode kritis untuk perkembangan dan kelangsungan hidup bagi anak ayam (Ardana, 2009).
2.4
Pemberian
Pakan Fase Starter dan Finisher
Temperatur lingkungan terutama dimusim kemarau merupakan permasalahan
yang menjadi perhatian bagi peternak karena temperatur lingkungan yang tinggi
dapat meningkatkan feed convertion rate (FCR)
dan kematian. Temperatur dalam kandang terutama sistem “Open House” sangat
dipengaruhi oleh lokasi kandang. Lokasi tersebut harus memiliki sumber air yang
mudah diperoleh serta perlu juga diperhatikan kecepatan angin dalam kandang (Ardana, 2009).
Ayam merupakan hewanhomeothermis atau berdarah panas dengan temperatur
tubuhnya 40,60 C - 41,70 C. Temperatur tubuh yang tinggi
ini membuat ayam memiliki kemampuan terbatas dalam menyesuaikan diri dengan
temperatur lingkungan. Oleh karena itu, ayam akan merasa sangat tertekan jika
suhu lingkungan lebih tinggi dari temperatur ideal baginya yaitu 19-270
C. Ayam memiliki kemampuan terbatas dalam mengurangi panas tubuhnya.
Pengeluaran panas dilakukan melalui sistem respirasi karena ayam tidak memiliki
kelenjar keringat, sehingga kerja jantung dan angka respirasi akan menjadi
lebih tinggi (biasa disebut dengan “panting”). Stres panas ini juga bisa
mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh ayam. Perubahan fungsi fisiologis ini
dapat berupa adaptasi ayam terhadap temperatur lingkungan yang ekstrim,
contohnya: ayam akan mengurangi konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi air
minum (agar produksi panas dalam tubuhnya/ Heat Increment berkurang sehingga
dapat membuang panas dengan jalan panting). Sekitar 60% panas tubuh akan
dibuang melalui mekanisme panting. Mekanisme panting ini akan dilakukan ayam
terutama pada kandang yang kelembabannya rendah. Jika temperatur lingkungan
terlalu panas maka ayam akan mengurangi aktivitasnya, sayap menjadi lunglai dan
akan terjadi perubahan keseimbangan hormon. Salah satu konsekuensi akibat sress
panas maka ayam akan menurunkan konsumsi pakan, sehingga konsumsi nutriennya
(asam amino, lemak, mineral, dan vitamin) juga akan turun. Oleh karena itu,
perlu menyiasati agar ayam dapat tercukupi kebutuhan nutriennya pada kondisi
lingkungan yang panas (Ardana,
2009).
Puasa ayam disiang hari secara fisiologis akan lebih baik dilakukan juga
dengan pemberian air minum secara adlibitum. Interval puasa dapat dilakukan 6-8
jam sebelum terjadinya awal sress panas, kemudian terjadi lagi stres panas
selama 6 jam sesudahnya, sehingga total interval puasanya menjadi 12 jam (masih
dapat ditolelir). Pemberian pakan pada siang hari kurang efisien karena hasil
metabolisme zat makanan pada jumlah tertentu harus dibuang. Pemberian vitamin C
dan elektrolit (6 jam sebelum awal terjadinya stres panas) juga sangat
dianjurkan serta dapat dilakukan juga penyiraman atap kandang dengan air atau
dengan menambah kipas (Ardana,
2009).
2.5
Frekuensi
Pemberian Pakan
Pakan adalah campuran
berbagai macam bahan organik
dan anorganik yang diberikan kepada
ternak untuk memenuhi
kebutuhan zat-zat makanan
yang diperlukan bagi pertumbuhan,
perkembangan, dan reproduksi
(Suprijatna et al., 2005).
Pemberian pakan pada periode starter pada minggu pertama dilakukan secara
adlibitum yaitu pemberian pakan
secara terus-menerus. Pemberian
pakan inidilakukan sesering
mungkin dengan jumlah
sedikit demi sedikit.
Anak ayam pada periode
ini masih dalam
tahap belajar dan
adaptasi dengan lingkungan
sehingga pemberian pakan dalam jumlah sedikit demi sedikit dimaksudkan
agar tidak banyak terbuang dan tidak tercampur dengan kotoran ayam (Fadilah et
al., 2007).
Berbagai tingkat pembatasan pemberian pakan akan memberi
pengaruh yang berbeda terhadap penampilan
ayam dan penghematan
pakan (Fuller et al., 1993). Frekuensi atau
waktu pemberian pakan
pada anak ayam biasanya lebih
sering sampai 5 kali
sehari. Semakin tua
ayam,frekuensi pemberian pakan
semakin berkurang sampai dua
atau tiga kali
sehari (Suci et al., 2005).
Hal yang perlu mendapat perhatian dari segi waktu
pemberian pakan adalah ketepatan waktu setiap harinya. Ketepatan
waktu pemberian pakan
perlu dipertahankan, karena
pemberian pakan pada waktu
yang tidak tepat
setiap hari dapat
menurunkan produksi. Pakan juga
dapat diberikan dengan
cara terbatas pada
waktu tertentu dan
disesuaikan dengan kebutuhan ayam,
misalnya pagi dan sore.
Waktu pemberian pakan dipilih pada saat yang tepat dan nyaman
sehingga ayam dapat makan dengan baik dan tidak banyak pakan yang terbuang (Sudaro
dan Siriwa, 2007).
Pola pemberian pakan yang baik akan membantu
meningkatkan konsumsi pakan minggu pertama. Pemberian pakan sedikit demi
sedikit, tetapi sesering mungkin sangat dianjurkan.
Tabel 2.2. Frekuensi Pemberian Pakan
Umur
|
Frekuensi
Pemberian Pakan
|
Minggu I (1-7 hari)
|
9 kali tiap 2
jam (mulai 06.00-23.00)
|
Minggu II
(8-14 hari)
|
5 kali tiap 3
jam (mulai 07.00-19.00)
|
Minggu III
(15-21 hari)
|
4 kali tiap 4
jam (mulai 07.00-19.00)
|
Minggu IV
(22-28 hari)
|
3 kali tiap 4
jam (mulai 07.30-15.00)
|
Minggu V
(29-35 hari)
|
2 kali tiap 6
jam (mulai 07.30-15.00)
|
Minggu VI
(36-42 hari)
|
2 kali tiap 6
jam (mulai 07.30-15.00)
|
Minggu VII
(>43 hari)
|
2 kali tiap 6
jam (mulai 07.30-15.00)
|
Sumber: (Ardana,
2009)
Kualitas dan kuantitas pakan broiler yang diberikan
dibedakan berdasarkan fase pertumbuhan broiler yaitu fase starter (umur 0-4
minggu) dan fase finisher (4-6 minggu) (Ardana, 2009).
a.
Kualitas dan
Kuantitas Pakan Fase Starter
Pada fase starter, kualitas atau kandungan
zat gizi pakan terdiri dari protein 22-24%, lemak 2,5%, serat kasar 4%, kalsium
(Ca) 1%, phospor (P) 0,7-0,9%, ME: 2800-3500 kkal/kg makanan. Sedangkan
kuantitas pakan terbagi/digolongkan menjadi empat golongan, yaitu:
a. Minggu
ke-1 (1-7 hari) 17 gram/ekor/hari
b. Minggu
ke-2 (8-14 hari) 43 gram/ekor/hari
c. Minggu
ke-3 (15-21 hari) 66 gram/ekor/hari
d. Minggu
ke-4 (22-28 hari) 91 gram/ekor/hari
Keseluruhan
jumlah pakan yang dibutuhkan tiap ekor sampai pada umur 4 minggu sebesar 1.520
gram (Ardana, 2009).
b.
Kualitas dan
Kuantitas Pakan Fase Finisher
Pada fase finisher kualitas atau kandungan zat gizi
pakan terdiri dari protein 18,1-21,2%; lemak 2,5%, serat kasar 4,5%, kalsium
(Ca) 1%, phospor (P) 0,7-0,9%, dan energi (ME): 2900-3400 kkal/kg. Sedangkan
kuantitas pakan terbagi/digolongkan dalam empat golongan umur, yaitu:
a. Minggu
ke-5 (29-35 hari) 111 gram/ekor/hari
b. Minggu
ke-6 (36-42 hari) 129 gram/ekor/hari
c. Minggu
ke-7 (43-49 hari) 146 gram/ekor/hari
d. Minggu
ke-8 (50-56 hari) 161 gram/ekor/hari
Keseluruhan jumlah pakan per ekor pada umur 29-56 hari
adalah 3.829 gram pakan (Ardana, 2009).
2.6
Konsumsi
Pakan
Suprijatna
et al., (2005) menyatakan
bahwa pakan starter diberikan pada ayam
berumur 0-3 minggu,
sedangkan ransum finisher
diberikan pada waktu ayam berumur empat minggu sampai panen. Konsumsi pakan merupakan
jumlah pakan yang dimakan dalam jangka waktu tertentu. Pakan yang dikonsumsi ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan
energi dan zat nutrisi lain. Konsumsi
pakan tiap ekor ternak berbeda-beda. Konsumsi diperhitungkan sebagai
jumah makanan yang dimakan oleh
ternak (Tillman et al., 1991) dan bila diberikan adlibitum (Parakkasi, 1999).
Zat makanan yang dikandungnya akan
digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup
pokok dan untuk
produksi hewan. Wahju
(2004) menyatakan bahwa besar
dan bangsa ayam,
temperatur lingkungan, tahap
produksi dan energi dalam pakan dapat mempengaruhi konsumsi. National
Research Council (1994) menyatakan bahwa
bobot badan ayam, jenis
kelamin, aktivitas, suhu lingkungan dan kualitas pakan dapat
mempengaruhi konsumsi.
Saat
cuaca panas, ayam berusaha mendinginkan tubuhnya dengan cara bernafas secara
cepat (panting). Tingkah laku dapat peredaran darah banyak menuju ke
organ pernafasan, sedangkan peredaran darah pada organ pencernaan mengalami penurunan sehingga bisa mengganggu
pencernaan dan metabolisme. Pakan yang dikonsumsi tidak bisa dicerna dengan
baik dan nutrien dalam pakan banyak yang
dibuang dalam bentuk feses (Bell dan Weaver, 2002). Penelitian Santoso (2002)
menunjukan bahwa ayam broiler pada kandang litter yang diberikan pakan komersial menghabiskan pakan mulai
minggu ke-tiga sampai minggu ke-lima sebesar 2525 g/ekor, sedangkan pada kandang
cage menghabiskan pakan mulai minggu ke-tiga sampai minggu ke-lima sebesar 2459
g/ekor. Penelitian Kusnadi (2006) menunjukkan bahwa konsumsi pakan ayam broiler
berumur 5 minggu pada suhu 240 C sebesar 1918 g/ekor, sementara pada
suhu 320 C konsumsi pakan sebesar 1667
g/ekor. Konsumsi pakan
ayam broiler strain
CP 707 yang dipelihara pada suhu
nyaman pada umur lima minggu adalah 2967 g/ekor.
Tingkat
energi menentukan jumlah
ransum yang dikonsumsi.
Ayam cenderung meningkatkan konsumsinya
jika kandungan energi
ransum rendah dan sebaliknya konsumsi akan menurun jika
kandungan energi ransum meningkat (Scott et al., 1982).
2.7
Tempat Pakan
Jumlah tempat pakan dan tempat
air minum yang terlalu sedikit akan membuat ayam tidak mendapat makan dan minum
secara merata. Ketidakmerataan ini dapat menyebabkan ketidakseragaman berat
pasar. Hal ini tentu saja dapat menurunkan produksi ayam per kandangnya yang
berakibat langsung menurunkan keuntungan yang diperoleh peternak (Ardana,
2009).
Biasanya peternak memberi tempat
pakan sebanyak 20 buah untuk 1000 ekor. Hal ini tentunya untuk 1 tempat pakan
berat 7 kg diperuntukkan bagi 50 ekor ayam dewasa. Padahal kapasitas satu
tempat pakan tersebut hanya berkisar antara 12-17 ekor. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika terjadi variasi berat badan yang sangat lebar, yang artinya
rendahnya keseragaman. Demikian pula kebutuhan tempat air minum dapat
menyebabkan ayam tidak minum secara serempak. Oleh karena itu, untuk 1000 ekor
ayam dewasa membutuhkan 60 buah tempat minum dan tempat makan yang cukup
(Ardana, 2009).
Dilaporkan bahwa tempat pakan
untuk ayam umur 0-2 hari adalah 1 feeder
tray diameter 35 cm untuk 50 ekor ayam, umur 3-5 hari tambahkan feeder tray yang lebih besar atau pan feeder. Untuk umur 6-14 hari gunakan
1 tempat pakan bentuk tabung atau pan feeder
setiap 50 ekor anak ayam (Ardana, 2009).
Tabel 2.3. Jumlah kebutuhan
tempat pakan untuk 500 ekor
Umur
(hari)
|
Kepadatan
(ekor/m2)
|
Chicken
Feeder Tray (CFT)
|
Tempat
Makan Tube 10 kg
|
1
|
60
|
10
|
-
|
3
|
40
|
10
|
10
|
6
|
30
|
6
|
12
|
9
|
20
|
4
|
16
|
12
|
15
|
-
|
24
|
14>>
|
10
|
-
|
24
|
Sumber: Ardana (2009)
2.8
Tempat Minum dan Air Minum Ayam
Air minum merupakan bagian yang
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan makhluk hidup di dunia. Air minum
merupakan nutrien yang esensial pada ayam, kekurangan atau kelebihan konsumsi
air minum mempunyai efek yang besar terhadap performa ayam. Namun demikian air
tidak hanya berfungsi sebagai nutrien, tetapi air juga merupakan komponen utama
darah sebagai alat transportasi dalam tubuh ayam, berfungsi untuk memperlunak
pakan, membantu dalam proses pencernaan dan penyerapan nutrisi lainnya serta
sebagai penyeimbang dalam tubuh. Dalam hal lain air juga bercampur dengan
kotoran (pembawa) dan dibutuhkan dalam reaksi-reaksi tertentu seperti dalam
proses pembentukan daging dan telur, serta reaksi enzymatic lainnya. Kurang lebih 55-75% berat badannya terdiri dari
ayam. Sedang pada telur 65% diantaranya terdiri dari air. Jika dicermati lebih
dalam lagi ada kurang lebih 70% air terdapat dalam sel dan 30% lagi terdapat di
sekeliling sel dan darah ayam. Air dalam tubuh ayam memiliki peran vital,
antara lain menjadi pelarut zat-zat organik dan anorganik, berperan dalam
proses metabolisme tubuh, serta membantu pergerakan pakan dalam sistem
pencernaan (Ardana, 2009).
Tabel 2.4. Konsumsi air minum
broiler modern
Umur
(Minggu)
|
Liter
|
1
|
58-65
|
2
|
102-115
|
3
|
149-167
|
4
|
192-216
|
5
|
232-261
|
6
|
274-308
|
7
|
309-347
|
8
|
342-385
|
Sumber: Manajemen manual broiler CP 707 (2005)
2.9
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan
adalah suatu proses
peningkatan ukuran tulang,
otot, organ dalam dan
bagian tubuh yang
terjadi sebelum lahir (prenatal) dan
setelah lahir (postnatal) sampai
mencapai dewasa (Ensminger, 1992). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah
galur ayam, jenis
kelamin, dan faktor
lingkungan (Bell dan Weaver,
2002). Salah satu kriteria
untuk mengukur pertumbuhan
adalah dengan mengukur
pertambahan bobt badan. Pertambahan
bobot badan merupakan kenaikan bobot badan yang dicapai oleh seekor ternak selama
periode tertentu.
Ayam broiler merupakan ayam yang memiliki ciri khas
tingkat pertumbuhan yang cepat sehingga
dapat dipasarkan dalam
waktu singkat. Pertambahan
bobot badan diperoleh dengan
pengukuran kenaikan bobot
badan melalui penimbangan berulang dalam waktu tertentu
misalnya tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, atau tiap tahun (Tillman et al., 1991).
Rose (1997) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan
ayam berlangsung sesuai dengan kondisi fisiologis ayam, yaitu bobot badan ayam
akan berubah ke arah bobot badan dewasa.
Perubahan bobot badan
membentuk kurva sigmoid
yaitu meningkat perlahan-lahan kemudian cepat dan perlahan lagi atau
berhenti. Penelitian Santoso (2002) menyatakan
bahwa pertambahan bobot
badan ayam broiler
umur enam minggu yang
dipelihara pada kandang litter sebesar 1935
g/ekor sedangkan pada kandang cage 1791 g/ekor. Secara garis
besar, terdapat dua faktor
yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan,
yaitu interaksi antara
faktor genetik dan faktor
lingkungan. Kemampuan genetik
akan terwujud secara
optimal apabila kondisi lingkungan
memungkinkan bagi ternak
yang bersangkutan sehingga penampilan yang diharapkan dapat
tercapai (Card dan Nesheim, 1972).
2.10
Konversi Pakan
Nilai
konversi pakan dipengaruhi
oleh beberapa faktor
antara lain genetik, tipe pakan yang digunakan, feed additive yang digunakan dalam pakan, manajemen pemeliharaan, dan
suhu lingkungan (James,
2004). Jumlah pakan
yang digunakan mempengaruhi perhitungan
konversi ransum atau Feed Converstion Ratio (FCR). FCR merupakan
perbandingan antara jumlah
ransum yang dikonsumsi
dengan pertumbuhan berat badan. Angka konversi ransum yang kecil berarti
jumlah ransum yang digunakan untuk
menghasilkan satu kilogram
daging semakin sedikit (Edjeng dan Kartasudjana, 2006). Semakin tinggi
konversi ransum berarti
semakin boros ransum yang
digunakan (Fadilah et al., 2007).
Lacy dan Vest
(2000) menyatakan bahwa
faktor utama yang
mempengaruhi konversi pakan adalah
genetik, ventilasi, sanitasi,
kulitas pakan, jenis
pakan, penggunaan zat aditif,
kualitas air, penyakit
dan pengobatan serta
manajemen pemeliharaan,
selain itu meliputi
faktor penerangan, pemberian
pakan, dan faktor sosial.
Konversi
pakan ayam broiler
strain CP 707
yang dipelihara pada
suhu nyaman pada umur lima minggu adalah 1,62. Penelitian Santoso (2002)
menunjukan bahwa konversi pakan
pada ayam broiler
selama lima minggu
pada kandang litter sebesar 1,6.
Menurut Lesson (2000),
semakin dewasa ayam
maka nilai konversi pakan akan semakin besar.
Ayam yang semakin
besar akan makan
lebih banyak untuk
menjaga ukuran berat badan.
Sebesar 80% protein
digunakan untuk menjaga
berat badan dan
20% untuk pertumbuhan sehingga efisiensi pakan menjadi berkurang. Bila
nilai konversi pakan sudah jauh di atas angka dua, maka pemeliharaannya sudah
kurang menguntungkan lagi.
Oleh karena itu,
ayam broiler biasanya dipasarkan
maksimal pada umur enam minggu.
2.11
Mortalitas
Mortalitas atau kematian
adalah salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi keberhasilan usaha
pengembangan peternakan ayam.
Tingkat kematian yang tinggi pada ayam broiler sering terjadi pada
periode awal atau starter dan semakin rendah pada periode
akhir atau finisher. Angka mortalitas
diperoleh dari perbandingan jumlah ayam yang mati dengan
jumlah ayam yang dipelihara (Lacy dan Vest, 2000). Tingkat mortalitas dipengaruhi oleh
beberapa fakor, diantaranya bobot badan, bangsa, tipe
ayam, iklim, kebersihan
lingkungan, sanitasi peralatan
dan kandang serta penyakit (North dan
Bell, 1990). Kematian pada
suhu yang tinggi
dapat mencapai 30% dari total populasi (Tarmudji, 2004).
Fairchild
dan Lacy (2006)
menyatakan fungsi dari
sistem ventilasi pada pemeliharaan ayam
broiler adalah untuk
mengurangi jumlah amonia
yang dapat mengganggu produksi.
Faktor penyakit sangat
dominan sebagai penyebab
kematian utama ayam broiler.
Retno (1998) melaporkan
bahwa penyakit CRD
ini dapat meningkatkan kepekaan
terhadap infeksi Escheria coli, Infectius Bronchitis (IB), dan Newcastle
Desease (ND). Menurut Lacy dan Vest (2000), mortalitas ayam pedaging adalah
sekitar 4%. Pemberian vaksin dan
obat-obatan serta sanitasi
sekitar kandang perlu dilakukan untuk menekan tingkat
kematian. Hal ini sesuai
dengan pernyataan North dan
Bell (1990) bahwa
tingkat mortalitas dipengaruhi oleh
beberapa fakor, diantaranya bobot badan,
bangsa, tipe ayam,
iklim, kebersihan lingkungan,
sanitasi peralatan dan kandang serta penyakit.
2.12
Indeks Performa Ayam
Broiler
Salah satu kriteria
yang digunakan untuk
mengetahui keberhasilan
pemeliharaan adalah dengan
menghitung indeks performa.
Indeks Performa (IP) adalah
suatu formula yang
umum digunakan untuk
mengetahui performa ayam broiler. Semakin besar
nilai IP yang
diperoleh, semakin baik
prestasi ayam dan semakin
efisien penggunaan pakan
(Fadilah
et al.,
2007). Nilai indeks performa dihitung berdasarkan
bobot badan siap
potong, konversi pakan,
umur panen, dan jumlah persentase
ayam yang hidup
selama pemeliharaan (Kamara, 2009).
Nilai yang diperoleh dibandingkan terhadap standar. Nilai indeks performa dapat
diperoleh dengan cara sebagai berikut.
Tabel 2.5.
Kriteria Indeks Performa Ayam Pedaging.
Indeks Performa (IP)
|
Nilai
|
<300
|
Kurang
|
301-325
|
Cukup
|
326-350
|
Baik
|
351-400
|
Sangat Baik
|
>400
|
Istimewa
|
Sumber:
Santoso dan Sudaryani (2009)
BAB III
MATERI DAN
METODE
3.1
Lokasi dan Waktu
Observasi dilaksanakan di Desa
Same Undisan, Kecamatan Temuku, Kabupaten Bangli, Bali.
Peternakan ini adalah milik dari Bapak Wahyu Kirana. Pengamatan dilakukan pada bulan Mei 2014.
3.2
Materi
3.2.1
Ternak
Pengamatan ini
menggunakan ayam broiler strain Cobb galur CP 707 dari PT.
Charoen Pokphand Indonesia tanpa dilakukan pemisahan antara jantan dan betina.
Gambar.
Kondisi Ayam Broiler di dalam kandang
3.2.2
Pakan
Pakan yang digunakan
adalah pakan komersial
untuk ayam broiler
dari PT. Charoen Pokphand
Indonesia. Bahan pakan
yang digunakan adalah
jagung, dedak, bungkil kedelai,
bungkil kelapa, tepung daging dan tulang, pecahan gandum, bungkil kacang tanah,
tepung daun, kanola, kalsium, fosfor, vitamin, dan trace mineral. Komposisi
nutrisi ransum komersial disajikan pada Tabel.
Tabel
3.1. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial.
Zat Makanan
|
Kandungan
|
Kadar Air (Maks) (%)
|
13
|
Protein (%)
|
21,5-23,5
|
Serat Kasar (Maks) (%)
|
5
|
Lemak (Min) (%)
|
5
|
Abu (Maks) (%)
|
7
|
Ca (%)
|
0,9
|
P (%)
|
0,6
|
Energi
Metabolis (kkal/kg)
|
3000-3100
|
Sumber: PT.
Charoen Pokphand Indonesia
3.3
Metode
Adapun metode yang dilakukan adalah observasi langsung ke lapangan
ditambah dengan informasi dari pemilik peternak ayam broiler itu sendiri.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Dalam hal manajemen pemeliharaan broiler secara khusus manajemen pakan
pada broiler yang harus diperhatikan, antara lain: sistem pemberian pakan,
pemberian pakan lebih awal, pemberian pakan fase starter dan finisher, frekuensi pemberian pakan, konsumsi pakan, manajemen
tempat pakan, manajemen tempat minum dan air minu, pertambahan bobot badan
broiler, konversi pakan, angka mortalitas, dan menghitung indeks performa ayam
broiler. Dengan mengetahui hal-hal yang sudah tersebut diatas maka peternak
bisa menghasilkan broiler yang sehat, berkualitas, dan memiliki nilai harga
yang tinggi.
4.2
Saran
Penulis berharap para peternak dan calon peternak broiler memperhatikan
manajemen pemberian pakan yang baik bagi ternak ayamnya, supaya memberikan
hasil yang memuaskan dan memiliki nilai jual yang tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ardana, Ida Bagus Komang. 2009. Ternak
Broiler. Edisi I., Cetakan I. Swasta Nulus, Denpasar.
Bell, D. D &W.D. Weaver, Jr. 2002. Comercial Chicken Meat and Egg Production. 5th
Edition. Springer Science and Business Medial Inc, New York.
Card, L. E
& m. C.
Nesheim. 1972. Poultry Production. 11th Edition. Lea
and Fibeger, Philadelphia.
Edjeng S. &. Kartasudjana, R. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ensminger.
M. E. 1992. Poultry Science.
3rd Edition.
Interstate Publisher. Inc., Danville.
Fadillah, R., A.
Polana., S. Alam.,
& E. Parwanto.
2007. Sukses Beternak Ayam Broiler. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Fairchild, B. & M. Lacy. 2006. How
to control growth to improve economis result. http://www.cobb-vantress.com/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2014.
Fuller, H. L.,
W.M. Kirland, &
L.W. Chaney. 1993. Methode
of delaying seksual maturity of pullets restricted energy
consumption. Poult.Sci. 53:229-236.
James, R. G. 2004. Modern livestock and Poultry
Production. 7th Edition. Thomson Delmar Learning Inc.,
FFA Activities, London.
Kamara, T. 2009. Menghitung indeks
performa ayam broiler. http://tonikomara.blogspot/2009/10/menghitung-indeks-peperformance-ip-ayam.html. Diakses pada tanggal 5 Juni 2014.
Kartasudjana, R. 2005. Manajemen
Ternak Unggas. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran Press, Bandung.
Kusnadi, E. 2006. Suplementasi
vitamin C sebagai penangkal cekaman panas pada ayam broiler. JITV 11 (4):
249-253.
Lacy, M. &
L. R. Vest.
2000. Improving Feed Convertion
in Broiler: A Guide
for Growers. Springer Science
and Business Media Inc, New York.
Lesson, S. 2000. Feed efficiency
still a usefull
measure of broilers
performance. Department Animal and Poultry Science. University of
Guelph, Ontario
National
Research Council. 1994. Nutrient
Requirements of Poultry
9th Resived Edition. National Academic Press, Washington,
DC.
North,
M. O, &
D.D. Bell. 1990. Commercial
Chicken Production Manual. 4th Ed. the Avi
Publishing Company Inc. Wesport, Connecticut.
Parakkasi, A. 1999. Nutrisi
dan Makanan Ternak
Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
PT. Charoen Pokphand
Indonesia. 2006. Manajemen broiler
modern. Kiat-kiat
memperbaiki FCR. Technical
Service dan Development
Departement, Jakarta.
Retno, F. D. 1998. Penyakit-Penyakit
Penting Pada Ayam. Edisi ke-4, Bandung.
Rose, S. P. 1997. Principles
of Poultry Science. CAB International, London.
Santoso, H., &
Sudaryani, T. 2009. Pembesaran
Ayam Pedanging di Kandang Panggung
Terbuka. Cetakan Pertama. Penebar Swadaya, Jakarta.
Santoso, U. 2002.
Pengaruh tipe
kandang dan pembatasan
pakan di awal pertumbuhan terhadap
performans dan penimbunan
lemak pada ayam pedanging unsexed. JITV 7(2): 84-89
Sasongko, W.R. 2006. Mutu
karkas ayam potong.
Triyanti. Prosiding Seminar Nasoinal Peternakan dan veteriner,
Bogor.
Scott, M. L., M. C. Nesheim & R. J. Young. 1982.
Nutrition of the Chicken. 3rd Ed.
ML. Scott and ASS, Ithaca.
Suci, D. M.,
E. Mursyida, T.
Setianah, & R.
Mutia. 2005. Program pemberian makanan berdasarkan
kebutuhan protein dan
energy pada setiap
fase pertumbuhan ayam Poncin. Med. Pet. 28: 70-76.
Sudaro, Y. &
A. Siriwa. 2007. Ransum
Ayam dan Itik.
Cetakan IX. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suprijatna, E. U, Atmomarsono. R, Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar
Swadaya: Jakarta.
Tarmudji, 2004. Bila
Busung Perut menyerang Ayam. Balitvet, Bogor.
Tillman, A. D.,
H. Hartadi, S.
Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo & S. Lehdosoekojo. 1991. Ilmu
Makanan Ternak Dasar.
Universitas Gadjah Mada Press,
Yogyakarta.
Ulupi, Niken; Afnan,
Rudi; dan Manurung, Eddy Julius. 2011. Performa
Ayam Broiler pada Frekuensi dan Waktu Pemberian Pakan yang Berbeda. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53743. Diakses pada tanggal 5 Juni 2014.
Wahju, J. 2004. Ilmu
Nutrisi Unggas. Edisi
Ke-4. Universitas Gadjah
Mada Press, Yogyakarta
1 komentar:
Cara Mengobati Mata Ayam Bangkok Yang Terluka
Posting Komentar