Sabtu, 23 Mei 2015

TRANSFER EMBRIO

FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI REPRODUKSI
EMBRYO TRANSFER








OLEH :


                        Radhita Andriani                                1209005060
                        Lidia Nofantri                                     1209005061
                        Yusuf Riska Alhamdani                     1209005062
                        Daniel Raja Bonar Nainggolan           1209005063
Erena Hajar Kartika                            1209005064
Agatha Serena Tobing                        1209005066
R.A.C Noorputri A S                          1209005067
Saruedi Simamora                               1209005068
Bianca Violanda Junus                       1209005069
I Made Wira Diana Putra                    1209005085




  
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015







KATA PENGANTAR


Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat pada waktunya.
Paper  ini bertujuan membantu mahasiswa Kedokteran Hewan untuk lebih mendalami dan mengetahui tentang Embryo Transfer.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu dalam penyelesaian paper ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan paper ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

                                                                                    Penulis

Denpasar,  April 2015




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.. ii
DAFTAR ISI. iii
BAB I PENDAHULUAN.. 1
1.1 Latar Belakang. 1
1.2 Rumusan Masalah. 2
1.3 Tujuan. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.. 3
2.1 Pengertian. 3
2.2 Manfaat Transfer Embrio. 3
2.3 Keunggulan Transfer Embrio Dibandingkan Inseminasi Buatan. 3
2.4 Tahapan Transfer Embrio. 4
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA






BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Permintaan akan daging di Indonesia akan bertambah terus secara nyata dengan bertambahnya penduduk dan pendapatan. Usaha membentuk bangsa sapi potong baru memerlukan waktu yang lama. Selama beberapa tahun impor ternak hidup untuk meningkatkan produksi ternak potong mengalami banyak hambatan dan tidak optimal. Oleh karena itu teknologi transfer embrio (TE) menawarkan jalan untuk meningkatkan dan mengembangkan produksi daging secara berkelanjutan. Produksi embrio dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Teknologi superovulasi dengan menggunakan hormon gonadotrophin telah berhasil meproduksi embrio secara in vivo, akan tetapi teknologi ini dibatasi oleh mahalnya hormon dan respons yang bervariasi dari donor. Produksi embrio secara in vitro menawarkan jalan yang terbaik untuk menghasilkan embrio yang berkualitas baik dan murah. Sumber oocyt bisa dari rumah potong hewan maupun hewan betina muda (Juvenile) dan tidak didapat hambatan teknik untuk penerapannya dilapangan. Ternak potong lokal (PO, SO, Bali, dll) mempunyai fertilitas yang tinggi dan sudah beradaptasi dengan lingkungan tropis. Menggunakan bangsa sapi lokal untuk resipien bagi hybrid embrio hasil in vitro sangat memungkinkan. Teknologi pemisahan spermatozoa akan meningkatkan efisiensi produksi sapi potong. Pada waktu yang akan datang teknologi sexing , splitting dan cloning embrio untuk meningkatkan efisiensi TE perlu dievaluasi.
Aplikasi TE di Indonesia dimulai pada awal dasawarsa 1980-an. Saat ini penelitian dan penguasaan teknologi telah dilakukan dan dikembangkan oleh berbagai institusi, seperti BALITNAK, Balai Embrio Ternak, LIPI dan beberapa Perguruan Tinggi seperti IPB, UGM, Brawijaya, Airlangga dll. Keberhasilan teknologi TE di Indonesia masih sangat beragam dan dampaknya untuk perkembangan maupun peningkatan produktivitas ternak masih sangat minimal. Program untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi TE masih belum terfokus dengan baik. Padahal teknologi ini merupakan salah satu wahana yang sangat penting dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak.

1.2 Rumusan Masalah

1.    Apa itu pengertian transfer embrio?
2.    Apa manfaat transfer embrio?
3.    Apa keunggulan transfer embrio?
4.    Bagaimana tahapan transfer embrio?

1.3 Tujuan

1.    Mengetahui pengertian transfer embrio.
2.    Mengetahui manfaat transfer embrio.
3.    Mengetahui keunggulan transfer embrio.
4.    Mengetahui tahapan transfer embrio.





BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian

Transfer embrio adalah suatu proses dimana embrio dipindahkan dari seekor hewan betina yang bertindak sebagai donor pada waktu embrio tersebut belum mengalami implantasi, kepada seekor betina yang bertindak sebagai ppenerima sehingga resepien tersebut menjadi bunting.

2.2 Manfaat Transfer Embrio

Beberapa manfaat dari teknologi transfer embrio adalah:
1.        Untuk meningkatkan populasi ternak unggul. Seekor sapi betina hanya mampu menghasilkan 7 keturunan selama hidupnya, sedangkan dengan penerapan TE maka seekor sapi betina mampu menghasilkan 448 keturunan selama hidupnya. (Rutledge, 2004).
2.        Import dan eksport embrio sebagai ganti ternak dewasa sehingga biasanya menjadi lebih ekonomis. Transfer embrio juga memungkinkan hewan melahirkan anak dari spesies lain, misalnya kuda melahirkan zebra, domba melahirkan kambing seperti yang terjadi di Louisville Zoo.
3.        Manfaat lainnya adalah memperoleh keturunan dari induk yang kurang fertile, induk yang dimaksud adalah betina yang menderita oobstruksi tuba falofia yang bilateral total dan betina yang menderita adesi fimria bilateral total (Martojo, 1987).

2.3 Keunggulan Transfer Embrio Dibandingkan Inseminasi Buatan

a.         Perbaikan mutu genetik pada IB hanya berasal dari pejantan unggul sedangkandengan teknologi TE, sifat unggul dapat berasal dari pejantan dan induk yangunggul.
b.        Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat kemurnian genetik yang tinggi (Purebred) dengan TE jauh lebih cepat dibandingkan IB dan kawin alam.
c.         Dengan teknik TE, seekor betina unggul mampu menghasilkan lebih dari 20-30ekor pedet unggul per-tahun sedangkan dengan IB hanya dapat menghasilkan satupedet per-tahun.
d.        Melalui teknik TE dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar dengan jalanmentransfer setiap tanduk uterus (Cornua Uteri) dengan satu embrio.

2.4 Tahapan Transfer Embrio


1.     Pemilihan Donor Dan Resipien
Seleksi sapi betina donor untuk transfer embrio harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomis dan genetic yaitu mempunyai produktivitas yang tinggi, sehat, mempunyai siklus birahi yang regular mulai pubertas. Mempunyai kinerja yang baik, dan tidak pernah mengalami kesulitan melahirkan maupun gangguan reproduksi lainnya. Sedangkan syarat hewan resepien adalah sapi muda yang bebas penyakit, kinerja yang bagus, dan proses kelahiran sebelumnya mudah. Kandidat resepien perlu diperiksa dengan cermat kondisi kesehatan tubuh maupun status reproduksinya.

2.     Superovulasi Dan Induksi Estrus Pada Donor
Superovulasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ova lebih banyak dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormone dari luar. Superovulasi memerlukan sediaan gonadotropin yang kaya akan atau meniru efek FSH (follicle stimulating hormone). Disamping itu FSH harus ada dalam periode yang cukup untuk memacu pertumbuhan dan pematangan akhir folikel. Sediaan FSH, PMSG (Pregnant mare’s serum gonadotropin) dan HCG (human chorionic gonadotropin) merupakan agen gonadotropin yang lazim digunakan untuk superovulasi. Hasil superovulasi meliputi jumlah embrio dan kualitas embrio sangat bervariasi dan sulit diramalkan.  Respon hewan terhadap preparat gonadotropin tergantung dari musim, bangsa, makanan, macam preparat yang dipakai, berat hidup, umur, fase dari siklus birahi, dan frekuensi pemberian dan dosis gonadotropin yang digunakan.  Preparat gonadotropin dapat diberikan pada fase luteal yaitu hari ke-8 sampai 12 siklus birahi yang diikuti dengan pemberian preparat prostaglandin F2-alfa (PGF2-alfa) untuk melisiskan corpus luteumnya; pada fase proestrus yaitu hari ke-16 sampai 20 siklus birahi tanpa diikuti dengan pemberian PGF2-alfa. Jika superovulasi menggunakan PMSG maka PGF2-Alfa diberikan 48 jam setelah menyuntikkan PMSG, namun jika menggunakan FSH, maka PGF2-Alfa diberikan pada hari ke-3 atau bersamaan dengan pemberian FSH yang ke-5. Dosis FSH yang telah digunakan pada sapi Bali adalah 24 mg untuk setiap ekor sapi, yang dibagi menjadi 8 dosis dan diberikan 2 kali sehari selama 4 hari berturut-turut.
Salah satu masalah utama dalam program transfer embrio adalah tingginya variabilitas respon terhadap superovulasi pada induk donor. Padahal kuantitas dan kualitas embrio donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transfer embrio. Superovulasi merupakan kunci keberhasilan transfer embrio dan tidak hanya ditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan jumlah embrio yang diperoleh, tetapi superovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai faktor seperti faktor-faktor yang mempengaruhi respon superovulasi pada induk donor, faktor yang mempengaruhi fertilisasi dan viabilitas embrio serta faktor yang berhubungan dengan manajemen induk donor.
Hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormon glikoprotein yang mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Berbagai penelitian pengaruh pemberian hormon terhadap respon superovulasi pada induk donor telah dilakukan yaitu dengan menggunakan PMSG, FSH Ovagen, FSH-PTM (FSH from pituitary) baik pada sapi potong maupun sapi perah (Tappa et al., 1994a; 1997).
Di Indonesia PMSG lebih banyak digunakan karena dapat diperoleh dengan mudah dan lebih murah dibandingkan dengan FSH-P. Pregnant mare’s serum gonadotropin merupakan glikoprotein komplek yang mempunyai aktivitas biologi seperti FSH dan LH; dimana aktivitas FSHnya lebih besar. PMSG mengandung asam sialat 10,8% yang berfungsi mencegah degradasi glikoprotein hormone oleh hati (Bindon and Piper, 1986).
Pada spi PMSG mempunyai daya kerja yang cukup panjang waktu paruhnya, yakni antara 2-5 hari, sedangkan residunya tetap ada dalam sirkulasi darah sampai 10 hari. PMSG bekerja dengan kemampuannya mencegah atau menghambat proses atresia dari folikel ovaria.
Sediaan PMSG di Indonesia dapat diperoleh dengan mudah, dengan merk dagang Folligon. Dosis PMSG yang dianjurkan pada sapi adalah 1:500-3.000 IU yang disuntikkan secara intramuskuler tiap donor sapi. Untuk membantu proses ovulasi dan mencegah terjadinya folikel anovulasi kadang-kadang perlu diberikan HCG awal birahi dengan dosis 1.500-3.000 IU per ekor.
Waktu paruh PMSG yang panjang menimbulkan problema overstimulasi ovaria. Problem ini dapat diatasi dengan injeksi intravena antibody monoclonal terhadap PMSG (anti-PMSG) pada saat inseminasi. Anti-PMSG akan menetralisir PMSG yang ada dengan menurunkan 85% konsentrasi PMSG di darah dalam waktu 1 jam dan sampai konsentrasi yang tidak dapat dideteksi lagi dalam waktu 2 jam. Salah satu anti-PMSG yang dapat diperoleh di pasaran adalah Neutra-PMSG.

3.     Sinkronisasi estrus
Sinkronisasi birahi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengendalikan siklus birahi sekelompok hewan betina sehingga birahi terjadi dalam waktu yang bersamaan atau paling tidak dalam waktu 2 atau 3 hari. Dalam program TE teknik sinkronisasi birahi dapat dipakai untuk menyeragamkan stadium siklus birahi antara hewan donor dan hewan resipien. Pemindahan embrio dapat dilaksanakan dengan berhasil ke dalam uterus hewan resipien jika stadium siklus birahinya bersamaan dengan keadaan uterus hewan donor (Toilihere, 1987).
Sinkronisasi perlu dilakukan setelah perlakuan superovulasi agar waktu ovulasi terjadi dalam waktu bersamaan. Untuk keperluan ini perlu adanya induksi luteolisis dengan agen luteolitik. Agen luteolitik yang sudah teruji manfaatnya adalah PGF2-Alfa. Birahi pada sapi yang sudah di superovulasi akan timbul dalam waktu 36-48 jam setelah pemberian PGF2-Alfa. Untuk perlakuan sinkronisasi birahi betina resipien perlu diketahui terlebih dahulu siklus birahinya, karena corpus luteum sapi peka terhadap PGF2-Alfa hari ke-5 sampai 14 siklus birahi. Jika pada waktu korpus luteum peka diberi perlakuan maka birahi akan timbul 1-4 hari atau rata-rata 2 hari setelah penyuntikan PGF2-Alfa. Jika kita belum mengetahui siklus birahi sapi tersebut maka dilakukan penyuntikan PGF2-Alfa 2 kali dengan interval 10 hari.
Prosedur yang digunakan adalah:
a.       Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikanPGF2α satu kali. Birahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan.
b.      Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2α dilakukandua kali selang waktu 11-12 hari. Penyuntikan PGF2α pada ternak resipien harusdilakukan satu hari lebih awal daripada donor. Keadaan ini disebabkan karenapada ternak donor yang telah diberi hormon gonadotropin, birahi biasanya lebihcepat yaitu 36-60 jam setelah penyuntikan PGF2a sedangkan pada resipien berahibiasanya timbul 48-96 jam setelah penyuntikan PGF2α.

4.     Perkawinan  Pada Hewan  Donor
Perkawinan hewan donor dapat dilakukan kawin alami atau inseminasi buatan (IB). Apabila dikawinkan secara IB maka diperlukan dosis ganda yang aplikasinya satu dosis diberikan 6 jam setelah menunjukkan gejala birahi dan satu dosis lagi diberikan 6 jam kemudian.

5.     Koleksi Embryo Dari Donor
Koleksi embrio hewan donor dapat dilakukan pada hari ke-6 sampai 8 setelah perkawinan, pada waktu embrio sudah berada pada kornua uteri. Pemanenan embrio yang sudah pernah dilakukan pada sapi Bali yaitu pada hari ke-7 setelah perkawinan.
Perlengkapan yang diperlukan untuk pemanenan embrio adalah:
1. Sterio mikroskop
2. Foley cateter
3. Larutan PBS
4. Pipa kaca berbentuk Y
5. Cawan petri
6. Selang dan jarum suntik
Hewan donor dipersiapkan terlebih dahulu dengan jalan disuntik acethyl promazin dosis 6 mg per ekor.Selanjutnya sapi dimasukkan ke kandang jepit, daerah sekitar vulva dibersihkan dan diberi desinfektan dan alcohol 70%. Anastesi epidural dilakukan segera sebelum katerisasi, dengan Lignocaine 2% dosis 4-6 ml. Manfaat anastesi yang diberikan adalah untuk mengurangi rasa sakit, mencegah pengejanan maupun pengeluaran kotoran yang mengganggu pelaksanaan pembilasan.

Cara Pemanenan:
1.     Stilette Cassou Insemination Gun dimasukkan ke dalam kateter supaya menjadi kaku, selanjutnya kateter diberi pelumas.
2.     Dengan palpasi rectal, kateter dimasukkan perlahan-lahan melewati vagina, cerviks, terus ke kornua uteri sampai 2/3 panjang kornua.
3.      Selanjutnya balon kateter diisi udara atau air sebanyak 5 ml, kemudian stiletto gun ditarik. Pipa kaca berbentuk hurup Y dipasang, dimana ujung-ujungnya telah terpasang selang penghubung.
4.     Larutan PBS dimasukkan tiap-tiap 30-60 ml tergantung besar hewan sampai menghabiskan 500 ml setiap kornua.
5.     Hasil bilasan uterus ditampung dalam beker gelas dan dibiarkan mengendap selama 30 menit, selanjutnya supernatannya dibuang dan sisanya dievaluasi di bawah sterio mikroskop.


Gambar : Circular method of uterin horn flushing (non surgical)

6.     Evaluasi embryo
Evaluasi embrio dilakukan di bawah sterio mikroskop dengan pembesaran lebih dari 40 kali. Embrio yang didapat harus mempunyai stadia yang relative sama; yaitu stadium morula (32 sel), morula kompak (blastomer memadat menjadi masa yang lebih kompak), dan blastosis awal (mempunyai blastosel). Adanya embrio yang stadium pertumbuhannya kurang dari 32 sel menunjukkan adanya kelambatan pertumbuhan. Embrio yang didapat dari media pembilas diambil menggunakan mikropipet, selanjutnya dimasukkan ke dalam straw mini atau medium bening yang transparan.
Klasifikasi embrio yang didapat pada pembilasan didasarkan pada penampilan umum morphologis dengan kriteria:
a.       Kualitas embrio A (sangat baik)
Stadium embrio sesuai dengan yang diantisipasi (morula, blastosis dini ataublastosis) tidak cacat, bentuk bundar spherical, ikatan blastomer erat dan kompak,bentuk simetris dan warna agak gelap.
b.      Kualitas embrio B (baik)
Stadium perkembangan 16-32 sel, tampak sedikit cacat seperti keluarnya salahsatu blastomer dari ikatan dan bentuk asimetris.
c.       Kualitas embrio C (cukup)
Stadium perkembangan agak retarded satu sampai dua hari dari stadium yangdiantisipasi (8-16 sel), cacat, beberapa blastomer keluar, ukuran blastomer tidak sama besar atau asimetris.
d.      Kualitas embrio D (jelek) dan tidak layak ditransfer.
Embrio yang mengalami hambatan perkembangan parah (2-8 sel), embriomengalami degenerasi seluler, ikatan-ikatan blastomer longgar sampai lepas atauovum yang tidak terbuah (Infertlized Ova).

                               
Gambar: kualitas embrio
               
7.     Transfer Embrio (TE)
Transfer embrio segar maupun beku ke resipien dilakukan pada hari siklus birahi yang sama dengan umur embrio (karena embrio dipanen pada umur 7 hari) maka siklus birahi resipien yang dapat dipakai adalah 7 ± 1 hari setelah birahi atau birahi hewan donor dan resipien minimal dalam 24 jam.
Pada umumnya terdapat dua metode TE yang digunakan yaitu metode pembedahandan metode tanpa pembedahan. Metode pembedahan dilakukan dengan jalanmembuatan sayatan di daerah perut (Laparotomi) baik sayatan sisi (Flank Incici) atausayatan pada garis tengah perut (Midle Incici). Metode tanpa pembedahan dilakukan dengan memasukkan embrio kedalam straw kemudian ditransfer kedalam uterus resipien dengan menggunakan Cassoue Gun Insemination.
Transfer dilakukan langsusng ke kornua uteri kurang lebih 5-10 cm dari bifurkasio uteri. Resipien yang tidak menunjukkan gejala birahi setelah 3 siklus birahi yang diharapkan dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan per rectal untuk menentukan berhasil tidaknya program transfer. Pemeliharaan resipien yang telah bunting sama seperti pemeliharaan-pemeliharaan pada hewan bunting pada umumnya.





                                                                      Gambar: Ilustrasi proses transfer embiro pada sapi




BAB III

PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Transfer embrio adalah suatu proses dimana embrio dipindahkan dari seekor hewan betina yang bertindak sebagai donor pada waktu embrio tersebut belum mengalami implantasi, kepada seekor betina yang bertindak sebagai ppenerima sehingga resepien tersebut menjadi bunting. Beberapa manfaat dari teknologi transfer embrio adalah untuk meningkatkan populasi ternak unggul, lebih ekonomis, dan untuk memperoleh keturunan dari induk yang kurang fertile.

Tahapan Transfer Embrio:

1.        Pemilihan Donor dan Resipien
2.        Superovulasi dan Induksi Estrus Pada Donor
3.        Sinkronisasi estrus
4.        Perkawinan  pada Hewan  Donor
5.        Koleksi Embryo dari Donor
6.        Evaluasi embryo
7.        Transfer Embrio (TE)

3.2 Saran

Dalam setiap pelaksanaan transfer embrio hendaknya memperhatikan dan mengikuti setiap tahapan yang ada, supaya keberhasilan dalam transfer embrio bisa dijamin dan dipertanggungjawabkan.





DAFTAR PUSTAKA

 

Bindon, B.M. and L.R . Piper. 1980. Assessment of new and traditional techniques ofselection for lambing rate. In: G.J. Togs, D.E. ROBERTSON and R. J . LIGHTFOOT (Ed) Sheep Breeding (2nd Ed.). p. 387- 401 .
Lubis., A, M. 2000. Pemberdayaan bioteknologi reproduksi Untuk peningkatan mutu genetik ternak. WARTAZOA Vol. 10 No. 1. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Martojo, H. 1987. Pengaruh Faktor-faktor Pendukung Terhadap Keberhasilan Transfer Embrio dan Rekayasa Genetik dalam Peningkatan Mutu dan Produksi Ternak. Interuniversity Center for Live Sciences. Bogor Agricultural University.6
Rutledge, J.J. 2004. Technology innovations to enchance livestock agribusiness. Seninar nasional teknologi peternakan dan veteriner. Hal 6.
Saputra, Junaidi 2012. Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi dengan Teknologi Transfer Embrio. https://www.scribd.com/doc/120394645/ Makalah-Bioteknologi-Peternakan-Junaidi-p-Saputra. Diakses pada tanggal 12 April 2015.
Tappa, B., E.M. Kaiin, S. Said & M. Suwecha. 1994b. Response of dairy cows treated with repeated superovulation and embryo recovery. Proceeding of 7th AAAP Animal Science Congress. Bali. P. 19-20.
Tappa, B., M. Soewecha, S. Said, E.M. Kaiin, & F. Afiati. 1997. Over 5 years study in superovulation of dairy and beef cows using FSH-Ovagen and FSH-P during embryo transfer. 4th International Meeting on Biotechnology in Animal Reproduction, Bogor.

Toelihere, M.R. 1987. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas Indonesia. P. 40 – 44.