Sebuah cerita motivasi…!
Berani
Bermimpi!
Ekonomi Bukan Penghalang Prestasi
by Ahmad
Nasikun
“Bermimpilah, karena
Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. “ (Arai) – Andrea
Hirata (Sang Pemimpi)
Diperlukan tempaan hebat untuk membentuk intan
dari karbon; kerja keras dan ketegaran menghadapi segala tantangan menjadi
harga mati. Begitulah prinsip dasar hidupku. Nilai dasar yang selalu menjadi
acuanku untuk berpijak ketika aku mulai goyah dari tujuanku. Bagi orang desa
dari keluarga sederhana dengan segala keterbatasan, tidak ada jalan lain selain
kerja keras untuk mencapai mimpimimpi masa depan-ku. Aku sungguh sangat
beruntung mempunyai Bapak-Ibu yang selalu mencontohkan karakter kegigihan dalam
setiap kegiatan mereka serta tetap tabah menghadapi kesulitan hidup yang tak
henti-hentinya menjamahi kami, para wong cilik. Merekalah sumber inspirasiku. Merekalah yang selalu kubayangkan
ketika hati ini sedang butuh motivasi. Merekalah teladanku!
Meletakkan Batu
Pertama untuk Membangun Rumah Mimpi
Aku lahir dan menikmati masa kecilku di desa
Plajan. Desa terpencil di kecamatan Pakis Aji, Kabupatan Jepara, Bumi Ibu
Kartini; sekitar dua setengah jam dari Semarang .
Saat aku kecil, listrik belum masuk desa ini, sehingga lampu senthir berbahan bakar minyak tanah
lah yang menerangi malam-malam di desa kami. Jalan desa pun masih bermotifkan
batu-batu dan tanah, aspal belum sampai ke desa yang berjarak 20 km dari kota Jepara tersebut.
Tiap pagi, aku dan temanteman SD-ku harus berjalan menyusuri jalan tersebut
dengan kaki telanjang, mengenakan sepatu ke sekolah belum menjadi kewajiban
dalam belajar. Pun, kami juga tidak begitu mampu membeli sepatu. Yang penting
kami bisa sekolah.
Aktivitas sekolah kami sangat berbeda dengan
siswa di di Jakarta , Bandung ,
Yogyakarta , atau kota-kota lain; kami lebih
banyak bermain kelereng, gundu, dan kasti dibanding belajar, bahkan ketika kami
sudah kelas 6. Pada waktu istirahat sering memanfaatkannya untuk menyelam
menangkap ikan dengan tangan-tangan terampil mereka di bendungan (waduk) dekat sekolah kami.
Yah, beginilah nasib kami di salah satu sekolah tertinggal di desa Plajan.
Nasib mulai berubah ketika aku dan dua rekanku berhasil menjuarai lomba
cerdas-cermat tingkat desa. Kecil memang, tapi cukup untuk membuat kami bangga
akan sekolah kami, mengalahkan 4 SD dan 1 MI (Madrasah Ibtidaiyah) lain yang
lebih mapan. Kemudian aku diminta mengikuti seleksi olimpiade Matematika. Dari
tingkat desa, kadin, sampai kecamatan dengan rahmat Allah dan ketulusan
dukungan serta bimbingan guru-guru SD ku, aku melenggang mulus sebagai juara 1
tingkat kecamatan. Hal yang tak pernah diprediksikan oleh Depdikbud kecamatan
Mlonggo (ketika itu belum berubah menjadi kemendiknas), bahkan guru-guru di
SD-ku. Kecamatan Mlonggo pun menempatkanku pada unggulan pertama pada kompetisi
tingkat kabupaten karena hanya 1 wakil perlomba yang berhak maju ke tingkat
provinsi. Alhamdulillah, siswa itu adalah aku, meskipun tidak bisa berbuat
banyak menghadapi kejeniusan anak-anak kota
dengan pendidikan yang lebih matang di perkotaan. Air mata kekalahan pun
mengucur deras dari bocah lugu ini, saat aku harus menerima kekalahan ini di
asrama haji Donoyudan, Boyolali.
Laksana Bambu,
Membangun Akar yang Kuat Dahulu....
Ketika lulus SD, yang ada dalam benakku hanyalah
melanjutkan ke SMP Kosgoro di dekat rumah, SMP dengan kurang dari 30 siswa
per-kelasnya. Bukan karena target mereka sebanyak itu, tetapi karena anak kecil
di tempat kami lebih memilih untuk
langsung menjadi tukang kayu dibandingkan dengan sekolah lagi. Dengan bekerja,
kami akan bisa membantu orang tua kami sehingga mengurangi kepedihan mereka.
Tetapi aku harus beda! Harus bisa menentukan nasibku sendiri! Tak akan
kubiarkan lingkungan dan tradisi menentukan arah hidupku!
Akhirnya, aku memilih untuk mengembara keluar
desa. Meminta Pak Dhe (paman) untuk mengizinkan saya tinggal di rumah beliau di
Pecangaan, sehingga saya bisa sekolah di SMP N 1 Pecangaan, salah satu SMP
favorit di Jepara, yang kini sudah bergelar RSBI (berstandar Internasional).
Walau dengan resiko aku harus hidup jauh dari orang tua, dan dua minggu sekali
baru bisa menatap senyum mereka. Memasuki lingkungan kota , jiwa desaku merasakan keminderan yang
sangat. Ditambah ada sekelompok orang yang tidak suka dengan kehadiranku, dan
selalu menghardikku dengan kata-kata kasar, cacian, dan larangan untuk
berteman, membuat mentalku semakin jatuh! Rasa percaya diriku pun hilang entah
kemana, tak ada keberanian untuk bicara dan mencari teman, jiwa dipenuhi
ketakutan dan kerendahan diri. Yang aku lakukan hanyalah belajar, belajar, dan
belajar! Dari pulang sekolah sampai malam sebelum tidur, hari-hari ku hanya
ditemani buku-buku sekolah atau buku bacaan dari perpustakaan sekolah; novel Empat Sekawan merupakan favoritku pada
saat itu. Akan tetapi, aku boleh sangat bersyukur dari itu karena selama 9 kali
pengambilan raport, aku selalu ranking 1, dan aku pun bisa lulus dengan nilai tertinggi
dan satu-satunya siswa dengan nilai UAN Matematika 10.00, tiket yang membawaku
untuk SMA. Menjelang lulus SMP, pikiranku melayang kembali ke rumah ku di
Plajan, memaksaku untuk mengurungkan mimpi besarku menempuh pendidikan, untuk bekerja
sehingga meringankan beban orang tua dalam mencukupi kehidupan kami. Namun,
guru-guru SMP saya sungguh mengagumkan! Mereka mampu menangkap mimpi dan
potensiku. Empat orang guru, yang tak akan pernah kulupakan sepanjang masa,
rela menghabiskan 1 hari untuk ke rumah saya dengan naik bus, angkudes
(angkutan pedesaan), dan ojek hanya untuk menyakinkan kedua orang tua saya
bahwa mereka akan berusaha mencarikan sekolah yang terbaik untuk saya. Sebagai
kompromi atas mimpi berpendidikan tinggi dan realita keterbatasan ekonomi kami,
pikiran ku pun mengarah ke STM/SMK. Sederhana, aku hanya ingin segera berijazah
SMA, yang agak tinggi rasanya bagi orang desa, kemudian bekerja. Sempat
kuurungkan impian-impian tinggi laksana Ikal yang mulai tidak percaya lagi pada
Arai untuk bisa kuliah di Sorbonne, Paris, di saat mereka lulus dari UI. Tapi,aku
tetap nekat! Aku tidak ikut tes masuk SMK tapi malah mengikuti tes masuk di SMA
kerjasama Indonesia Turki yang berada di Gunungpati, Semarang , bernama SMA Semesta Semarang.
Sekolah yang mengajarkan pelajaran sains, matematika, dan komputer dalam bahasa
Inggris, oleh guru-guru dari Turki.
Elang itu Mulai
Terbang Menerjang Langit Luas...
Semasa SMA aku makin menjauh dari keluargaku,
hanya bisa pulang sebulan atau bahkan terkadang dua bulan sekali. Namun di
sinilah aku mulai berani semakin tinggi bermimpi dan memperluas horizon
cakrawala pandanganku. Aku mulai mengenal bule,
berkawan dengan siswa-siswa dari berbagai penjuru nusantara.
mencoba ekstrakurikuler Karate, bermain bola, dan berdekatan dengan komputer.
Meskipun aku belum bisa menghilangkan rasa mudah minderku. Walau bagaimana pun
aku mulai menikmati proses pertumbuhanku, serta lingkungan baru yang makin
indah untuk terus bermimpi. Pada saat kelas 2, aku mulai mencoba mengikuti
beberapa perlombaan,
akademis maupun non akademis. Ada yang mengesankan, namun tidak sedikit
yang terasa pahit. Aku pernah memegang trofi kebanggaan juara 1 lomba
Matematika tingkat Jateng serta tingkat
kota Semarang .
Aku pun juga pernah dihajar telak 8-0 tanpa balas pada Kejurnas Kumite Karate di Pekalongan. Fase baru dalam hidup pun harus aku hadapi lagi.
Untuk memenuhi mimpi besarku melihat Indonesia
dari luar dan bisa menggenggam salju, aku melaui tahap demi tahapan dalam seleksi pertukaran
pelajar Yasayan Bina Antarbudaya yang bekerja sama dengan AFS Amerika Serikat. Luar biasa, pada
saat kenaikan kelas menuju kelas 3, aku harus berkemas meninggalkan ibu pertiwi
untuk mencicipi aroma kehidupan di
negeri Paman Sam. Anak desa ini akhirnya bias
melihat dunia! Tak pernah sebelumnya naik pesawat, dan sekarang
harus terbang tinggi ke benua lain.
Bulan Juli 2005, aku beserta 90-an siswa terpilih
dari Indonesia , dan lebih dari
600-an siswa lain dari berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim dikumpulkan
di Hotel Hilton , Washington , D.C., untuk orientasi tentang kehidupan
di Amerika Serikat. Kami juga bisa berjalan-jalan di Ibu kota AS tersebut.
Itulah pertama kalinya aku berfoto di depan White House, Capitol Building,
Lincoln Memorial, dan Washington Monument; tonggak penting dalam rantai sejarah
perjuangan negara dengan 50 negara bagian tersebut. Setiap pagi aku berjalan
1.5 km menuju Gaithersburg High School, sekolahku selama di Maryland, USA,
sekolah yang menjadi simulasi kecil dari Amerika Serikat. Lebih dari 2000 siswa
bersekolah disana, dengan berbagai ras dan warna kulit. Aku terkaget melihat
fakta bahwa di daerahku jumlah orang kulit hitam, hispanik, dan kulit putih
jumlahnya hampir berimbang. Juga sangat susah untuk masuk sistem pertemanan
mereka karena teman bagi mereka biasanya orang yang sudah bersama sejak dari
kecil. Berbeda dengan kita, mereka menganggap sangat biasa orang asing yang
masuk ke negara mereka. Toh, hamper semua dari mereka juga orang asing. Bulan-bulan pertama di AS, aku masih belum bisa
berkomunikasi dengan lancar. Aku masih susah mengikuti pelajaran di sekolah, berbicara
dengan kawankawan sekelas, bingung dengan jadwal sholat yang setiap hari selalu
berubah, kesulitan mencari kawan
muslim di sekolah, belum bisa makan makanan mereka dengan nikmat (lidah Jawa ini memang susah diberi
makanan Amerika), serta belum juga bisa menghafal jadwal dan rute bus kota. Aku mendapat single-mom
host family keturunan kulit hitam, Darlene, dengan 1 anak perempuan, Adrienne, dengan host grand-parents kulit putih. Suatu fenomena yang mengajarkanku atas fenomena rasisme
pada masa lalu Amerika dan betapa ini sudah mulai berubah atas jasa sosok-sosok seperti
mereka yang mau mengadopsi orang dari lain ras. Ketegaran dan kegigihan
mereka begitu melekat padaku; bagaimana kerasnya perjuangan mereke menghadapi ketidakadilan rasisme. Untuk memenuhi misi kebudayaan, aku pun beberapa
kali presentasi tentang Indonesia
pada siswa-siswa Amerika dengan memperkenalkan budayabudaya kita seperti Batik, makanan, dan mata uang kita.
Pernah juga kami mengadakan pameran kebudayaan dengan mendirikan booth/stand tentang Indonesiam, serta pada malam Internasional, aku
membawakan Tari Piring. Terheran aku ketika terkadang aku harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan nyeleneh dan hampir tidak masuk akal, “Orang
Indonesia masih tinggal di rumah
pohon ya?”, “Indonesia itu
dekat Somalia kan ?”, atau bahkan “Kalian masih belum pakai pakaian seperti kami, kan ?” What in the
world is wrong with Di depan White House
Dengan Host-Sister those guys?!! Begitu
pikiranku sontak menjawab. Aneh! Tapi itulah gambaran betapa sedikitnya mereka tahu tentang kita! Waktu setahun dengan cepat berlalu dan pada bulan
Juni 2006 pun aku harus kembali ke tanah air. Sebagai kenang-kenangan, host-fam ku
pun mengajakku ke Manhattan , New
York . Akhirnya kulihat dengan mata kepalaku sendiri Golden Bridge, Ground Zero, Time Square,
hingga kami naik kapal kecil ke hadapan Patung Liberti.
Wake up! It's ime
to Start A New Dream
Juli 2006, kakiku kembali menginjak bumi
nusantara. Aku harus terbangun dari mimpi indahku dan kembali menghadapi segala
liku kehidupan di tanah Indonesia .
Masa terakhir SMA kulalui dengan agak aneh (minimal menurut sudut pandangku, saat itu). Aku harus sekelas dengan
adik-adik kelasku, berusia lebih menuntutku untuk berprestasi dan bermimpi
lebih tentunya. Aku pun mulai dikenal banyak orang, ibarat artis sekolah, walau
jiwa desaku masih menempel di benakku. Sangat lucu, saat orang lain bilang aku
hebat, aku justru masih minder dan belum PD dengan kemampuanku. Setelah UN kami
lewati, kami pun
diwisuda dan kembali aku dinobatkan sebagai
lulusan terbaik, melanjutkan tradisi yang sama semasa SD dan SMP. Merantau di
lain kota
bukanlah hal baru bagiku, tetapi saat pindah ke Jogja terasa agak beda, orang
tuaku pun tak tahu kalau aku sudah di Jogja. Bukan karena aku durhaka, tetapi
aku tak ingin membuat mereka cemas dengan segala tetek mbengek masalah finansial, biarlah
untuk sementara kugunakan uang tabunganku dahulu. Jogja? UGM? Dimana itu? Aku
belum pernah menginjakkan kaki di bumi Sri Sultan sebelumnya. Aku melalui dua
bulan pertamaku bagai ikan yang baru dilepas ke lautan, terpukau dengan segala
keadaan serta masih harus menggali sendiri pengetahuan dari lingkungan yang
baru. Aku melihat bumi perkuliahan di UGM begitu memukau mataku. Begitu banyak
kesempatan untuk mengeksplor diri. Peluang untuk beraktivitas begitu beragam. “Inilah lahan bermimpiku yang baru!” Tahun pertama aku bergabung di KMTE (Keluarga Mahasiswa Teknik
Elektro UGM), BEM KMFT (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Teknik), dan BEM
KM UGM (Badan Eksekutif Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa UGM) yang mendidikku dengan lika-liku politik kampus, walau aku pun tak begitu ahli
disana. Hingga aku pun pernah 3 bulan tidak nge-kos dan tinggal di sekretariat BEM
KMFT. Namun, yang jelas ketiga lembaga itu menumbuhkan kesadaran moral dan
sosial padaku bahwa aku hidup tidak untuk diriku saja, namun ada hak orang lain
dan masyarakat pada diriku.
Itulah yang mendorong aku dan teman-temanku di
Departemen SosMas BEM KM UGM secara rutin membina anak-anak
jalanan di Ledhok, Timoho selama hampir
2 tahun. Tantangan perekonomian
memaksaku untuk harus pandai menyesuaikan
diri dengan kenyataan. Selain kuliah dan organisasi tersebut, aku
pun mencoba berjualan, menjadi penerjemah freelance
Inggris-Indonesia, hingga menjadi tentor privat. Semuanya hanya untuk sekedar uang
penjamin hidup di Jogja dan berlatih lebih mandiri dari beasiswa orang tua. Aku yang dari kecil sampai
SMA sangat fokus pada akademis, kini
pun lebih membuka mata dan mencoba memaknai
lidup lebih luas. Rajin mengikuti seminar kepemimpinan,
kewirausahaan, TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), sosial, jurnalistik, dan
ekonomi-politik. Beberapa kali juga turut turun ke jalan menyuarakan aspirasi
ketidaksetujuan pada pemerintah; salah satu yang paling ekstrim adalah pada 12 Mei
2008 bersama seluruh mahasiswa Indonesia berdemo di depan Istana Merdeka di
Jakarta serta dengan segelintir mahasiswa teknik berdemo keliling jurusan
mempublikasikan Tugu Rakyat yang kami usung ke Jakarta.
Semakin Berani
Memupuk Mimpi
Tahun pertamaku berjalan sangat nyaman. Dua kali
mendapatkan IP 4.00, mulai berkontribusi di lembaga, diterima di PPSDMS Nurul
Fikri Regional III Yogyakarta, mulai nyaman dengan kehidupan kampus dan segala
aktivitasku, serta yang paling penting, mulai menikmati realisasi mimpi-mimpi
besar yang kumimpikan sebelumnya. Aku pun harus terus bermimpi lagi! Setelah
aku menikmati masa 6 bulan dibina di PPSDMS Nurul Fikri, 3 semester kuliah,
serta berorganisasi di BEM dan KMTE, aku pun kembali terbawa pada mimpiku:
mendapat kesempatan untuk mewakili UGM dalam pertukaran pelajar bidang TIK ke
Korea Selatan selama 1 tahun di Daejeon University.
Again, Another Great
Leap. It's Time for Korean Visit
“If you can dream it,
you can do it.” (Walt Disney)
Barangkali inilah puncak dari segala
keberhasilanku di kampus, buah dari perjuangan selama 3 semester pertama di
UGM, aku bisa belajar 1 tahun di salah satu pusat teknologi Asia, di Sillicon Valley-nya Korea, Kota Daejeon. Aku
bias kuliah di Korea Selatan selama 2 semester bersama 20 mahasiswa terbaik
dari ASEAN, serta 2 bulan magang di UN-APCICT, lembaga training ICT milik PBB, selain
juga jalan-jalan mengeksplorasi bumi Korea Selatan. Aku juga bias mengikuti
beberapa seminar internasional, berkunjung ke Kedutaan besar Indonesia dan Malaysia ,
mengikuti Taekwondo di Daejeon Univ, wisata budaya tradisional Korea , hingga homestay
di rumah salah satu mahasiswa Daejeon University .
Salah satu puncak kegiatan akademis selama di Korea terjadi ketika aku berhasil
meraih Bronze Medal essay competition oleh Korea
Times, mendapat GPA terbaik selama 2 semester disana,
dan lulus ujian sertifikasi Java Programming.
Menari saat International
Food Festival dan Fundraising Gempa Padang di Daejeon University
Penerimaan penghargaan dariKorean Times atas Bronze Medal dalam Writing Competition
Hal lain yang sangat berkesan bagiku adalah
interaksi dengan para pekerja dan pelajar Indonesia
lain di Korea Selatan. Para pekerja disana
termasuk TKI dengan kehidupan yang mapan dan perlindungan tingkat tinggi. Kita (pekerja
dan pelajar) bekerjasama melalui IMNIDA (Ikatan Muslimin Indonesia di Daejeon) untuk mengadakan bimbingan kelas komputer, bahasa Inggris, dan bahasa Korea bagi para pekerja. Kombinasi yang hangat.
Apa arti UGM?
Sungguh kuliah di UGM memberikan warna khas pada
karakter pribadiku. Sebagai kampus kerakyatan, UGM mempunyai ciri khas jiwa
kepedulian social yang tinggi, selain kompetensi pribadi yang unggul. Nilai
inilah yang kupegang teguh selama belajar di kampus Bulaksumur ini. Dari ketika
mengajar di panti asuhan semasa di BEM KMFT, atau pun belajar bersama anak-anak
jalanan ketika di BEM KM UGM, hingga hidup mendalami perjuangan para pekerja di
Korea Selatan. Hidup kampus kerakyatan Gadjah Mada!!!
Yeah, We're Super
Senior!
TENTANG PENULIS
AHMAD NASIKUN adalah mahasiswa Teknologi Informasi, Teknik Elektro
Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 2009, Nasikun menjabat sebagai Kepala
Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia BEM KM Fakultas Teknik UGM sebelum
selanjutnya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar
yang diselenggarakan oleh ASEAN University Network (AUN) di Daejeon University,
Korea Selatan selama satu tahun akademis. Program pertukaran pelaja ini Nasikun
jalankan dengan tekun dan serius yang mana kemudian memberikan hasil akademis
yang sempurna dan sangat memuaskan. Selama masa studinya di Korea Selatan
tersebut, Nasikun berhasil menorehkan tinta prestasi dengan meraih juara 3 pada
lomba English Essay Writing yang diselenggarakan oleh Korea Times pada tahun
2010. Selain itu, Nasikun juga memperoleh kesempatan untuk malaksanakan magang
selama dua bulan (Juli – agustus 2009) di United Nations-Asia and Pacific Training Center
for Information and Communication Technology for Development. Sebagai aktivitas
kegiatan non-akademis, Nasikun juga menjadi sukarelawan pengajar computer bagi
pegawai Indonesia di Daejeon, Korea Selatan serta menjabat sebagai Dewan
Pembina IMNIDA (Ikatan Muslimin Indonesia di Daejeon). Pengalaman serta
pencapaian yang telah diperolehnya membuat Nasikun berhasil memperoleh
Peringkat I pada Kompetisi Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tingkat Universitas
tahun 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar