FISIOLOGI
DAN TEKNOLOGI REPRODUKSI
EMBRYO
TRANSFER
OLEH
:
Radhita Andriani 1209005060
Lidia Nofantri 1209005061
Yusuf Riska Alhamdani 1209005062
Daniel Raja Bonar Nainggolan 1209005063
Erena Hajar Kartika 1209005064
Agatha Serena Tobing 1209005066
R.A.C Noorputri A S 1209005067
Saruedi Simamora 1209005068
Bianca Violanda Junus 1209005069
I Made Wira Diana Putra 1209005085
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
KATA PENGANTAR
Puji
dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat pada waktunya.
Paper ini bertujuan membantu mahasiswa Kedokteran
Hewan untuk lebih mendalami dan mengetahui tentang Embryo Transfer.
Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan
membantu dalam penyelesaian paper ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca untuk menyempurnakan paper ini. Akhir kata penulis
mengucapkan terimakasih.
Penulis
Denpasar, April 2015
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian
2.2
Manfaat Transfer Embrio
2.3
Keunggulan Transfer Embrio Dibandingkan Inseminasi Buatan
2.4
Tahapan Transfer Embrio
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Permintaan akan daging di Indonesia akan bertambah terus secara
nyata dengan bertambahnya penduduk dan pendapatan. Usaha membentuk bangsa sapi
potong baru memerlukan waktu yang lama. Selama beberapa tahun impor ternak
hidup untuk meningkatkan produksi ternak potong mengalami banyak hambatan dan
tidak optimal. Oleh karena itu teknologi transfer embrio (TE) menawarkan jalan
untuk meningkatkan dan mengembangkan produksi daging secara berkelanjutan.
Produksi embrio dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Teknologi
superovulasi dengan menggunakan hormon gonadotrophin telah berhasil meproduksi
embrio secara in vivo, akan tetapi teknologi ini dibatasi oleh mahalnya hormon
dan respons yang bervariasi dari donor. Produksi embrio secara in vitro
menawarkan jalan yang terbaik untuk menghasilkan embrio yang berkualitas baik
dan murah. Sumber oocyt bisa dari rumah potong hewan maupun hewan betina muda
(Juvenile) dan tidak didapat hambatan teknik untuk penerapannya dilapangan.
Ternak potong lokal (PO, SO, Bali, dll) mempunyai fertilitas yang tinggi dan
sudah beradaptasi dengan lingkungan tropis. Menggunakan bangsa sapi lokal untuk
resipien bagi hybrid embrio hasil in vitro sangat memungkinkan. Teknologi
pemisahan spermatozoa akan meningkatkan efisiensi produksi sapi potong. Pada
waktu yang akan datang teknologi sexing , splitting dan cloning embrio untuk
meningkatkan efisiensi TE perlu dievaluasi.
Aplikasi TE
di Indonesia dimulai pada awal dasawarsa 1980-an. Saat ini penelitian dan
penguasaan teknologi telah dilakukan dan dikembangkan oleh berbagai institusi,
seperti BALITNAK, Balai Embrio Ternak, LIPI dan beberapa Perguruan Tinggi
seperti IPB, UGM, Brawijaya, Airlangga dll. Keberhasilan teknologi TE di
Indonesia masih sangat beragam dan dampaknya untuk perkembangan maupun
peningkatan produktivitas ternak masih sangat minimal. Program untuk
mengembangkan dan memanfaatkan teknologi TE masih belum terfokus dengan baik.
Padahal teknologi ini merupakan salah satu wahana yang sangat penting dalam
rangka meningkatkan produktivitas ternak.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa
itu pengertian transfer embrio?
2. Apa
manfaat transfer embrio?
3. Apa
keunggulan transfer embrio?
4. Bagaimana
tahapan transfer embrio?
1.3
Tujuan
1. Mengetahui
pengertian transfer embrio.
2. Mengetahui
manfaat transfer embrio.
3. Mengetahui
keunggulan transfer embrio.
4. Mengetahui
tahapan transfer embrio.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Transfer embrio adalah suatu
proses dimana embrio dipindahkan dari seekor hewan betina yang bertindak
sebagai donor pada waktu embrio tersebut belum mengalami implantasi, kepada
seekor betina yang bertindak sebagai ppenerima sehingga resepien tersebut
menjadi bunting.
2.2 Manfaat Transfer
Embrio
Beberapa manfaat dari
teknologi transfer embrio adalah:
1.
Untuk meningkatkan populasi ternak unggul. Seekor sapi betina
hanya mampu menghasilkan 7 keturunan selama hidupnya, sedangkan dengan
penerapan TE maka seekor sapi betina mampu menghasilkan 448 keturunan selama
hidupnya. (Rutledge, 2004).
2.
Import dan eksport embrio sebagai ganti ternak dewasa sehingga
biasanya menjadi lebih ekonomis. Transfer embrio juga memungkinkan hewan
melahirkan anak dari spesies lain, misalnya kuda melahirkan zebra, domba
melahirkan kambing seperti yang terjadi di Louisville Zoo.
3.
Manfaat lainnya adalah memperoleh keturunan dari induk yang kurang
fertile, induk yang dimaksud adalah betina yang menderita oobstruksi tuba
falofia yang bilateral total dan betina yang menderita adesi fimria bilateral
total (Martojo, 1987).
2.3 Keunggulan
Transfer Embrio Dibandingkan Inseminasi Buatan
a.
Perbaikan mutu genetik pada IB hanya berasal dari pejantan unggul
sedangkandengan teknologi TE, sifat unggul dapat berasal dari pejantan dan
induk yangunggul.
b.
Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat kemurnian genetik
yang tinggi (Purebred) dengan TE jauh lebih cepat dibandingkan IB dan kawin
alam.
c.
Dengan teknik TE, seekor betina unggul mampu menghasilkan lebih
dari 20-30ekor pedet unggul per-tahun sedangkan dengan IB hanya dapat
menghasilkan satupedet per-tahun.
d.
Melalui teknik TE dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar
dengan jalanmentransfer setiap tanduk uterus (Cornua Uteri) dengan satu embrio.
2.4 Tahapan Transfer
Embrio
1. Pemilihan Donor Dan Resipien
Seleksi sapi betina donor untuk transfer embrio harus
mempertimbangkan faktor-faktor ekonomis dan genetic yaitu mempunyai
produktivitas yang tinggi, sehat, mempunyai siklus birahi yang regular mulai
pubertas. Mempunyai kinerja yang baik, dan tidak pernah mengalami kesulitan
melahirkan maupun gangguan reproduksi lainnya. Sedangkan syarat hewan resepien
adalah sapi muda yang bebas penyakit, kinerja yang bagus, dan proses kelahiran
sebelumnya mudah. Kandidat resepien perlu diperiksa dengan cermat kondisi
kesehatan tubuh maupun status reproduksinya.
2. Superovulasi Dan Induksi Estrus Pada Donor
Superovulasi
adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ova lebih banyak
dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormone dari luar. Superovulasi memerlukan sediaan
gonadotropin yang kaya akan atau meniru efek FSH (follicle stimulating
hormone). Disamping itu FSH harus ada dalam periode yang cukup untuk memacu
pertumbuhan dan pematangan akhir folikel. Sediaan FSH, PMSG (Pregnant mare’s
serum gonadotropin) dan HCG (human chorionic gonadotropin) merupakan agen
gonadotropin yang lazim digunakan untuk superovulasi. Hasil superovulasi
meliputi jumlah embrio dan kualitas embrio sangat bervariasi dan sulit
diramalkan. Respon hewan terhadap
preparat gonadotropin tergantung dari musim, bangsa, makanan, macam preparat
yang dipakai, berat hidup, umur, fase dari siklus birahi, dan frekuensi
pemberian dan dosis gonadotropin yang digunakan. Preparat
gonadotropin dapat diberikan pada fase luteal yaitu hari ke-8 sampai 12 siklus
birahi yang diikuti dengan pemberian preparat prostaglandin F2-alfa (PGF2-alfa)
untuk melisiskan corpus luteumnya; pada fase proestrus yaitu hari ke-16 sampai
20 siklus birahi tanpa diikuti dengan pemberian PGF2-alfa. Jika superovulasi
menggunakan PMSG maka PGF2-Alfa diberikan 48 jam setelah menyuntikkan PMSG,
namun jika menggunakan FSH, maka PGF2-Alfa diberikan pada hari ke-3 atau
bersamaan dengan pemberian FSH yang ke-5. Dosis FSH yang telah digunakan pada
sapi Bali adalah 24 mg untuk setiap ekor sapi, yang dibagi menjadi 8 dosis dan
diberikan 2 kali sehari selama 4 hari berturut-turut.
Salah
satu masalah utama dalam program transfer embrio adalah tingginya variabilitas
respon terhadap superovulasi pada induk donor. Padahal kuantitas dan kualitas
embrio donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transfer embrio.
Superovulasi merupakan kunci keberhasilan transfer embrio dan tidak hanya
ditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan jumlah embrio yang diperoleh, tetapi
superovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai faktor seperti faktor-faktor yang
mempengaruhi respon superovulasi pada induk donor, faktor yang mempengaruhi
fertilisasi dan viabilitas embrio serta faktor yang berhubungan dengan
manajemen induk donor.
Hormon yang umum digunakan
untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone
(FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormon glikoprotein yang
mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara
berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Berbagai
penelitian pengaruh pemberian hormon terhadap respon superovulasi pada induk
donor telah dilakukan yaitu dengan menggunakan PMSG, FSH Ovagen, FSH-PTM (FSH
from pituitary) baik pada sapi potong maupun sapi perah (Tappa et al., 1994a;
1997).
Di
Indonesia PMSG lebih banyak digunakan karena dapat diperoleh dengan mudah dan
lebih murah dibandingkan dengan FSH-P. Pregnant mare’s serum gonadotropin
merupakan glikoprotein komplek yang mempunyai aktivitas biologi seperti FSH dan
LH; dimana aktivitas FSHnya lebih besar. PMSG mengandung asam sialat 10,8% yang
berfungsi mencegah degradasi glikoprotein hormone oleh hati (Bindon and Piper,
1986).
Pada spi
PMSG mempunyai daya kerja yang cukup panjang waktu paruhnya, yakni antara 2-5
hari, sedangkan residunya tetap ada dalam sirkulasi darah sampai 10 hari. PMSG
bekerja dengan kemampuannya mencegah atau menghambat proses atresia dari
folikel ovaria.
Sediaan
PMSG di Indonesia dapat diperoleh dengan mudah, dengan merk dagang Folligon.
Dosis PMSG yang dianjurkan pada sapi adalah 1:500-3.000 IU yang disuntikkan
secara intramuskuler tiap donor sapi. Untuk membantu proses ovulasi dan
mencegah terjadinya folikel anovulasi kadang-kadang perlu diberikan HCG awal
birahi dengan dosis 1.500-3.000 IU per ekor.
Waktu
paruh PMSG yang panjang menimbulkan problema overstimulasi ovaria. Problem ini
dapat diatasi dengan injeksi intravena antibody monoclonal terhadap PMSG
(anti-PMSG) pada saat inseminasi. Anti-PMSG akan menetralisir PMSG yang ada
dengan menurunkan 85% konsentrasi PMSG di darah dalam waktu 1 jam dan sampai
konsentrasi yang tidak dapat dideteksi lagi dalam waktu 2 jam. Salah satu
anti-PMSG yang dapat diperoleh di pasaran adalah Neutra-PMSG.
3. Sinkronisasi estrus
Sinkronisasi
birahi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengendalikan siklus birahi
sekelompok hewan betina sehingga birahi terjadi dalam waktu yang bersamaan atau
paling tidak dalam waktu 2 atau 3 hari. Dalam program TE teknik sinkronisasi
birahi dapat dipakai untuk menyeragamkan stadium siklus birahi antara hewan
donor dan hewan resipien. Pemindahan embrio dapat dilaksanakan dengan berhasil
ke dalam uterus hewan resipien jika stadium siklus birahinya bersamaan dengan
keadaan uterus hewan donor (Toilihere, 1987).
Sinkronisasi
perlu dilakukan setelah perlakuan superovulasi agar waktu ovulasi terjadi dalam
waktu bersamaan. Untuk keperluan ini perlu adanya induksi luteolisis dengan
agen luteolitik. Agen luteolitik yang sudah teruji manfaatnya adalah PGF2-Alfa.
Birahi pada sapi yang sudah di superovulasi akan timbul dalam waktu 36-48 jam
setelah pemberian PGF2-Alfa. Untuk perlakuan sinkronisasi birahi betina
resipien perlu diketahui terlebih dahulu siklus birahinya, karena corpus luteum
sapi peka terhadap PGF2-Alfa hari ke-5 sampai 14 siklus birahi. Jika pada waktu
korpus luteum peka diberi perlakuan maka birahi akan timbul 1-4 hari atau
rata-rata 2 hari setelah penyuntikan PGF2-Alfa. Jika kita belum mengetahui
siklus birahi sapi tersebut maka dilakukan penyuntikan PGF2-Alfa 2 kali dengan
interval 10 hari.
Prosedur yang digunakan
adalah:
a.
Ternak yang
diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikanPGF2α satu kali.
Birahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan.
b.
Apabila
tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2α dilakukandua kali selang
waktu 11-12 hari. Penyuntikan PGF2α pada ternak resipien harusdilakukan satu
hari lebih awal daripada donor. Keadaan ini disebabkan karenapada ternak donor
yang telah diberi hormon gonadotropin, birahi biasanya lebihcepat yaitu 36-60
jam setelah penyuntikan PGF2a sedangkan pada resipien berahibiasanya timbul
48-96 jam setelah penyuntikan PGF2α.
4. Perkawinan Pada Hewan Donor
Perkawinan
hewan donor dapat dilakukan kawin alami atau inseminasi buatan (IB). Apabila
dikawinkan secara IB maka diperlukan dosis ganda yang aplikasinya satu dosis
diberikan 6 jam setelah menunjukkan gejala birahi dan satu dosis lagi diberikan
6 jam kemudian.
5. Koleksi Embryo Dari Donor
Koleksi
embrio hewan donor dapat dilakukan pada hari ke-6 sampai 8 setelah perkawinan,
pada waktu embrio sudah berada pada kornua uteri. Pemanenan embrio yang sudah
pernah dilakukan pada sapi Bali yaitu pada hari ke-7 setelah perkawinan.
Perlengkapan
yang diperlukan untuk pemanenan embrio adalah:
1. Sterio mikroskop
2. Foley cateter
3. Larutan PBS
4. Pipa kaca berbentuk Y
5. Cawan petri
6. Selang dan jarum suntik
Hewan donor
dipersiapkan terlebih dahulu dengan jalan disuntik acethyl promazin dosis 6 mg
per ekor.Selanjutnya sapi dimasukkan ke kandang jepit, daerah sekitar vulva
dibersihkan dan diberi desinfektan dan alcohol 70%. Anastesi epidural dilakukan
segera sebelum katerisasi, dengan Lignocaine 2% dosis 4-6 ml. Manfaat anastesi
yang diberikan adalah untuk mengurangi rasa sakit, mencegah pengejanan maupun
pengeluaran kotoran yang mengganggu pelaksanaan pembilasan.
Cara Pemanenan:
1. Stilette Cassou Insemination Gun dimasukkan ke
dalam kateter supaya menjadi kaku, selanjutnya kateter diberi pelumas.
2. Dengan palpasi rectal, kateter dimasukkan
perlahan-lahan melewati vagina, cerviks, terus ke kornua uteri sampai 2/3
panjang kornua.
3. Selanjutnya balon kateter diisi udara atau air
sebanyak 5 ml, kemudian stiletto gun ditarik. Pipa kaca berbentuk hurup Y
dipasang, dimana ujung-ujungnya telah terpasang selang penghubung.
4. Larutan PBS dimasukkan tiap-tiap 30-60 ml
tergantung besar hewan sampai menghabiskan 500 ml setiap kornua.
5. Hasil bilasan uterus ditampung dalam beker gelas
dan dibiarkan mengendap selama 30 menit, selanjutnya supernatannya dibuang dan
sisanya dievaluasi di bawah sterio mikroskop.
Gambar : Circular method of uterin horn flushing (non surgical)
6. Evaluasi embryo
Evaluasi
embrio dilakukan di bawah sterio mikroskop dengan pembesaran lebih dari 40
kali. Embrio yang didapat harus mempunyai stadia yang relative sama; yaitu
stadium morula (32 sel), morula kompak (blastomer memadat menjadi masa yang
lebih kompak), dan blastosis awal (mempunyai blastosel). Adanya embrio yang
stadium pertumbuhannya kurang dari 32 sel menunjukkan adanya kelambatan
pertumbuhan. Embrio yang didapat dari media pembilas diambil menggunakan
mikropipet, selanjutnya dimasukkan ke dalam straw mini atau medium bening yang
transparan.
Klasifikasi embrio yang
didapat pada pembilasan didasarkan pada penampilan umum morphologis dengan
kriteria:
a.
Kualitas embrio A (sangat baik)
Stadium embrio sesuai dengan yang diantisipasi
(morula, blastosis dini ataublastosis) tidak cacat, bentuk bundar spherical,
ikatan blastomer erat dan kompak,bentuk simetris dan warna agak gelap.
b.
Kualitas embrio B (baik)
Stadium
perkembangan 16-32 sel, tampak sedikit cacat seperti keluarnya salahsatu
blastomer dari ikatan dan bentuk asimetris.
c.
Kualitas embrio C (cukup)
Stadium
perkembangan agak retarded satu sampai dua hari dari stadium yangdiantisipasi
(8-16 sel), cacat, beberapa blastomer keluar, ukuran blastomer tidak sama besar
atau asimetris.
d.
Kualitas embrio D (jelek) dan tidak layak ditransfer.
Embrio yang mengalami hambatan perkembangan parah (2-8 sel),
embriomengalami degenerasi seluler, ikatan-ikatan blastomer longgar sampai
lepas atauovum yang tidak terbuah (Infertlized Ova).
Gambar:
kualitas embrio
7. Transfer Embrio (TE)
Transfer embrio segar maupun beku ke resipien
dilakukan pada hari siklus birahi yang sama dengan umur embrio (karena embrio
dipanen pada umur 7 hari) maka siklus birahi resipien yang dapat dipakai adalah
7 ± 1 hari setelah birahi atau birahi hewan donor dan resipien minimal dalam 24
jam.
Pada umumnya terdapat dua metode TE yang
digunakan yaitu metode pembedahandan metode tanpa pembedahan. Metode pembedahan
dilakukan dengan jalanmembuatan sayatan di daerah perut (Laparotomi) baik sayatan sisi (Flank
Incici) atausayatan pada garis tengah perut (Midle Incici). Metode tanpa pembedahan dilakukan dengan memasukkan
embrio kedalam straw kemudian ditransfer kedalam uterus resipien dengan
menggunakan Cassoue Gun Insemination.
Transfer dilakukan langsusng ke kornua uteri
kurang lebih 5-10 cm dari bifurkasio uteri. Resipien yang tidak menunjukkan
gejala birahi setelah 3 siklus birahi yang diharapkan dapat dilakukan
pemeriksaan kebuntingan per rectal untuk menentukan berhasil tidaknya program
transfer. Pemeliharaan resipien yang telah bunting sama seperti pemeliharaan-pemeliharaan
pada hewan bunting pada umumnya.
Gambar: Ilustrasi proses transfer embiro
pada sapi
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Transfer embrio adalah suatu proses dimana embrio dipindahkan dari
seekor hewan betina yang bertindak sebagai donor pada waktu embrio tersebut
belum mengalami implantasi, kepada seekor betina yang bertindak sebagai
ppenerima sehingga resepien tersebut menjadi bunting. Beberapa manfaat dari
teknologi transfer embrio adalah untuk meningkatkan populasi ternak unggul,
lebih ekonomis, dan untuk memperoleh keturunan dari induk yang kurang fertile.
Tahapan Transfer Embrio:
1.
Pemilihan Donor dan Resipien
2.
Superovulasi dan Induksi Estrus Pada Donor
3.
Sinkronisasi estrus
4.
Perkawinan pada Hewan Donor
5.
Koleksi Embryo dari Donor
6.
Evaluasi embryo
7.
Transfer Embrio (TE)
3.2
Saran
Dalam setiap
pelaksanaan transfer embrio hendaknya memperhatikan dan mengikuti setiap
tahapan yang ada, supaya keberhasilan dalam transfer embrio bisa dijamin dan
dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bindon, B.M. and
L.R . Piper. 1980. Assessment of new and
traditional techniques ofselection for lambing rate. In: G.J. Togs, D.E.
ROBERTSON and R. J . LIGHTFOOT (Ed) Sheep Breeding (2nd Ed.). p. 387- 401 .
Lubis., A,
M. 2000. Pemberdayaan bioteknologi reproduksi Untuk peningkatan mutu genetik
ternak. WARTAZOA Vol. 10 No. 1. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Martojo, H.
1987. Pengaruh Faktor-faktor Pendukung
Terhadap Keberhasilan Transfer Embrio dan Rekayasa Genetik dalam Peningkatan
Mutu dan Produksi Ternak. Interuniversity Center for Live Sciences. Bogor
Agricultural University.6
Rutledge, J.J.
2004. Technology innovations to enchance
livestock agribusiness. Seninar nasional teknologi peternakan dan
veteriner. Hal 6.
Saputra, Junaidi 2012. Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi
dengan Teknologi Transfer Embrio. https://www.scribd.com/doc/120394645/
Makalah-Bioteknologi-Peternakan-Junaidi-p-Saputra. Diakses pada
tanggal 12 April 2015.
Tappa, B., E.M. Kaiin, S.
Said & M. Suwecha. 1994b. Response of
dairy cows treated with repeated superovulation and embryo recovery. Proceeding
of 7th AAAP Animal Science Congress. Bali. P. 19-20.
Tappa, B., M. Soewecha, S.
Said, E.M. Kaiin, & F. Afiati. 1997. Over
5 years study in superovulation of dairy and beef cows using FSH-Ovagen and
FSH-P during embryo transfer. 4th International Meeting on Biotechnology in
Animal Reproduction, Bogor.
Toelihere, M.R.
1987. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan
Kerbau. Universitas Indonesia. P. 40 – 44.